Chapter Sixteen

Beginne am Anfang
                                    

Minjeong berhasil menanyakan pertanyaan yang ingin dia ajukan selama beberapa hari terakhir ini. Dia tahu kalau Jaemin tidak sedang baik-baik saja; mungkin dia sedang memikirkan pamannya. Lagipula, satu-satunya orang yang bisa membuat Jaemin sangat khawatir (sepertinya) memang hanya Jaehyun. Dugaannya hampir tepat; dan akan sepenuhnya tepat jika gadis itu pun turut memasukan dirinya ke dalam daftar ‘manusia yang akan Jaemin pikirkan’.

“Apa kau mengkhawatirkanku?” secara tak terduga, Jaemin nyatanya cukup peka.

Sontak Minjeong membuang muka—menyembunyikan semburat merah yang muncul di wajah cantiknya. “Tidak.”

“Kumohon katakana ‘ya’. Meskipun kau hanya berbohong, tapi itu akan membuatku sangat senang.”

“Aku tidak mau membohongimu.”

“Minjeong memang sangat baik,” ucap Jaemin, bahkan refleks tangannya turut bergerak hanya untuk mengusak rambut Minjeong. “Aku jadi semakin mencintaimu.”

Untuk sesaat ia menangkap sedikit ekspresi tersipu di wajah Minjeong yang dingin. Gadis itu dengan serta merta mendorong kening Jaemin—membuatnya menjauh dan mengaduh. “Kau tidak makan lagi siang ini? Sayang sekali kalau tidak ikut makan siang, padahal makanan di kantin banyak yang enak.”

“Kau juga tidak makan siang.”

“Aku tidak begitu kapar.”

“Itu jawaban yang kau berikan kemarin. Bahkan beberapa hari sebelumnya juga. Kau kurus karena jarang makan.” Jaemin memprotes, hampir selalu begitu.

“Aku baik-baik saja. Lagipula, meskipun tubuhku kurus, otakku tetap bekerja dengan baik,” katanya sambil menyentuh kepala. Respon yang diberikan Jaemin sontak membuat kedua ujung bibir gadis itu tertarik ke atas—membentuk senyum yang begitu manis dan membuat kawan lelakinya terpesona.

Selama beberapa menit mereka kembali mengobrol—sama sekali tak mengungkit apapun yang berkaitan dengan Jaehyun karena hal itu dirasa terlalu penting. Selain itu Jaemin merasa jika saat ini Minjeong tidak sedang dalam keadaan yang cukup baik untuk mendengar keluh-kesah dan kekhawatirannya terhadap sang paman. Gadis itu tampak lebih pucat dan sedikit lebih kurus. Oleh sebab itu, alih-alih membebaninya dengan cerita seputar keluarga, Jaemin memilih pergi ke kantin secepat yang dia bisa hanya demi membeli beberapa bungkus sandwich. Pemuda itu hanya berkata jika uang di dompetnya perlu dihabiskan—jika tidak ibunya akan marah.

“Biasanya aku tidak memaksa, tapi kali ini aku akan memaksamu untuk makan,” tutur Jaemin sambil memberikan satu kantong plastik berisikan sandwich yang dia beli. Dia hanya membawa satu, sebatas basa-basi karena tak mau membuat Minjeong merasa dikasihani.

“Mau ke mana?” tanya Minjeong dengan suara serak.

Sambil memiringkan kepala Jaemin menjawab, “Atap. Aku tidak bisa ikut pelajaran matematika karena itu akan membuat otakku terbakar.”

“Apa aku boleh ikut?”

“Bole—WHAT?! Are you for real?!

Ini sebuah anomali. Minjeong tak pernah bolos kelas meski hujan badai sekalipun.

“Tunggu, kau bercanda kan?”

Sambil menariknya keluar—sementara tangan kanannya memegangi sekantong sandwich—Minjeong hanya tersenyum kecil dan tidak mengatakan apapun. Bahkan saat mereka tiba di atap, dia langsung duduk di salah satu sudut paling teduh dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, meminta Jaemin untuk duduk. Minjeong meluruskan kaki, menyantap sandwich tuna yang diberikan Jaemin, lalu membiarkan pemuda itu mengamati sosoknya sementara pandangannya tertuju ke langit.

The Poem We Cannot ReadWo Geschichten leben. Entdecke jetzt