16 | Trust, Or Trash?

Start from the beginning
                                    

Keringat dingin bercucuran. Aku kebingungan apa yang harus kulakukan sekarang. melihat seseorang bersujud serendah itu di hadapan membuat diriku tak bisa berkata-kata. Ada apa ini? Bukankah aku ini memang dendam padanya? Lantas, mengapa aku sedikit guncang melihatnya?

Bisa saja sekarang aku mengangkat kaki dan menginjak-injaknya semakin rendah dalam posisi seperti itu. Tapi tidak, aku masih memiliki akal sehat manusiawi. Balas dendam dengan menyakiti seseorang pun rasanya percuma, yang aku dapat hanya kepuasan semata. Malah, kalau aku berbuat jahat nanti takutnya malah kepergok orang, terus dituduh menganiaya.

Kucengkram kedua tangan erat agar meyakinkan bahwa aku sudah mantap dengan keputusanku.

"Angkat kepalamu."

Suji mengangkat kepalanya, menunjukkan wajahnya yang sudah beratakan karena nampak stres serta air mata yang membasahi wajah.

"Sujud di hadapan orang lain agar berlebihan."

Aku memang memintanya agar mengangkat kepala, tanpa harus membantunya bangkit dan mengotori tanganku sendiri. Biar Suji sajalah yang jadi overthink kenapa aku menyuruhnya untuk berhenti bersujud-sujud. Ini sudah bukan zaman Samurai lagi yang sampai segitunya memohon ampun orang lain.

"Tapi ..."

"Kau dulu memang salah, aku juga memikirkannya," aku menghela napas. "Memendam rasa dendam dan kemarahan orang lain malah semakin menyakitkan kalau dipertahankan. Aku masih belum bisa terlalu memaafkanmu, tapi ya sudahlah semuanya sudah lewat. Yang penting, kau sudah sadar dan mau meminta maaf."

Kedua maniknya semakin berbinar-binar menahan air mata yang tertampung untuk kembali mengalir. Sengaja kupalingkan wajah karena rasanya aneh ditatap olehnya dalam keadaan seperti ini.

"Makasih banyak ... Aeri baik hati sekali ..."

"Bukan baik hati, tapi memang seharusnya begitu ..."

Suji menanggapi dengan kekehan. Dia mulai bangkit sembari menyeka air mata yang tadi akhirnya malah keluar lagi.

"Kalau begitu, kita jadi teman sekarang?"

Aku mengedikkan bahu. "Tidak tahu, tuh."

"Eh tapi kalau kita sudah jadi teman beneran, aku mau ngajak hangout kapan-kapan. Boleh, tidak?"

"Terserah." sengaja kubalas ketus agar tak ternampak jelas aku memaafkannya sepenuh hati.

"See you, Aeri. Makasih banyak sudah mau mendengarkan."

Kujawab hanya dengan anggukan singkat lalu menutup pintu. Sial, tadi itu sudah benar tidak ya tanggapanku? Aku memang tidak sepenuh hati memaafkan—bahkan belum sudi, tapi kalau kutolak juga nanti malah jadi tambah kacau.

Apakah jangan-jangan ini yang dimaksud oleh Hyuga? Jangan pernah mempercayai seseorang yang pernah menendangmu.

Aku jadi tambah kebingungan. Kata-katanya mungkin memperingatiku agar tidak sepenuhnya percaya dengan omongan manis Suji. Entahlah, dia tulus atau tidak. Kita lihat saja ke depannya.

Tapi ucapan Hyuga memiliki kebenaran juga. Ingatlah, seekor ular akan terus mengganti kulitnya. Jangan mudah mempercayai orang.

***

Aku jadi sedikit penasaran dengan Suji. Perminta maafannya kemarin sudah kuhempas jauh-jauh. Namun, sekarang aku malah penasaran dengannya. Karena kebetulan kami tinggal bersebelahan, mungkin menyelidikinya diam-diam akan menyenangkan. Hitung-hitung jaga-jaga siapa tahu dia memang bertopeng.

Omong-omong soal bertopeng, hari ini aku bertemu degan seseorang yang masih satu jenisnya, tetapi beda gender. Pemuda bernama Hayashi Ranmaru kini datang lagi ke keseharianku. Kalau aku, sih sudah dipastikan sangat bosan. Entah apa yang ada di kepala Anjing Gila ini. Wajahku ini memang tak semembosankan itu, ya?

THE MAD DOGWhere stories live. Discover now