chapter 2

407 94 9
                                    

Sepulangnya dari ibadah, Erlan pun kembali ke asrama. Ia belum memiliki rencana untuk pergi ke suatu tempat atau melakukan sesuatu, sekalian ingin memeriksa apakah teman satu kamarnya sudah datang atau belum.

Tanpa mengetuk, Erlan langsung membuka pintu kamar asrama dan mendapati seorang pemuda yang sedang bernyanyi dengan suara keras sambil menari-nari heboh.

Kamar asrama mereka sebenarnya tidak kedap suara. Tapi kondisi asrama yang sedang bising karena sedang pada pindahan membuat Erlan tidak menyadari kalau suara senandung lagu tersebut berasal dari dalam kamarnya. Selama beberapa saat, Erlan dan pemuda itu hanya diam menatap satu sama lain.

"Siang," sapa Erlan dengan singkat. Lelaki yang gemar berolahraga itu memang tidak terlalu ekspresif atau ceria seperti Sela, bahkan beberapa orang menganggapnya sebagai sosok yang dingin dan cuek. Tapi yang terpenting adalah Erlan tetap bersikap sopan pada siapapun itu.

"Siang juga," sapa pemuda yang berada di dalam kamar dengan kikuk.

Erlan pun masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu. Ia mendekati lelaki itu sembari mengulurkan tangan. "Erlangga, panggil aja Erlan, arsitektur tahun ketiga, lo?"

"Darion, ilkom tahun ketiga juga. Bisa dipanggil Rio atau Rion." Lelaki tersebut balas menjabat tangan Erlan.

"Oke, gue santai aja ya. Seumuran."

Ucapan Erlan itu disetujui oleh Rion. "Yoi."

"Lo mau pakai bed atas apa bawah? Tapi semalem bed bawahnya udah gue pake," tanya Erlan sembari duduk di kursi meja belajarnya.

"Gue bed atas juga gapapa Lan. Lo dah sampe dari semalem?"

Erlan menganggukkan kepalanya. "Mohon kerjasamanya setahun kedepan. Ada yang perlu gue ketahui soal lo?" tanya Erlan dengan santai.

Sementara itu, disisi lain Rion merasa sedikit takut karena impresi pertamanya pada Erlan. Sepertinya teman satu kamarnya itu adalah tipe yang irit bicara, dingin, kaku, dan.. galak? Terlihat pula dari tipe wajahnya yang tegas dan badannya yang kekar. Cara bicaranya juga seadanya banget.

Cukup berbeda jauh dari dirinya yang cenderung ribut dan humble. Entah, Rion tidak tahu apakah ia bisa bertahan dengan baik setahun kedepan untuk tinggal bersama Erlan.

"Gue.. ada alergi dingin, jadi gue mau minta maaf duluan kalau malam atau subuh tiba-tiba bersin. Tapi gak yang kambuhan kok, cuma kadang kalo cuacanya lagi bener-bener dingin dan gue lagi gak fit. Sama gue gak bisa banget berurusan sama kecoa, lo.. bisa kan?" tanya Rion dengan hati-hati.

Erlan menganggukkan kepalanya singkat. "Kecoa masih gapapa, asalkan bukan laba-laba. Lo rajin bersih-bersih kan?"

"Ya, bisa diatur itu."

"Gue agak sensitif sama suara, kalau bisa pas gue dah mau tidur tolong kondisiin suaranya dan gue juga bakal sering bergadang buat nugas," ujar Erlan.

"Kita kebalikan, gue susah dibangunin," kekeh Rion. Dan sama seperti yang dibayangkan olehnya, Erlan hanya menarik sebelah ujung bibirnya saja. "Lo ada alergi atau kebiasaan tidur lain?" tanya Rion membunuh canggung dalam dirinya.

Selama beberapa saat, Erlan hanya diam sembari memikirkan jawabannya. "Gak ada. Lo?"

"Gak ada juga, selain alergi dingin itu."

"Oke. Ada yang mau lo sampein lagi?"

Rion terdiam. Jujur saja dalam hatinya masih merasa takut pada Erlan. Tapi apakah dengan menegur sikap Erlan dapat membuat suasana menjadi lebih nyaman atau semakin canggung, ia tidak tahu. Maka dari itu, ia memilih untuk menahan diri sekarang ini. Mungkin ia akan menyatakannya kelak, kalau memang sikap Erlan masih membuatnya merasa takut.

Between ThemWhere stories live. Discover now