Bab 3 (Bagian 1) : Kecemasan

Start from the beginning
                                    

Hingga akhirnya, ia mulai menjaga jarak dengan Lea. Lea yang menyadarinya bertanya padanya. Namun selalu tak Celia jawab. Semakin lama, Celia semakin menjauh. Hingga Celia sampai pada titik kasih sayangnya pada Lea benar-benar hilang. Rasa percaya pada satu sama lain yang kuat dulu itu sudah musnah. Hanya ada kebencian di antara keduanya.

"Hei. Apa yang kau katakan itu tidak benar. Lea sudah berjanji padaku kalau dia sedang mencari pecahan Snow Mist untuk disatukan kembali dan mengalahkan energi jahat yang masuk ke dalam wilayah Conifux." Jelas Elfen yang masih berusaha berprasangka baik.

"Kita bukanlah Conifux lagi kak. Mau sampai kapan kau terus menolak kenyataan itu?"

Kata-kata itu berhasil menyentil hati lembut Elfen. Membuat pria dengan badan tinggi itu tertegun sejenak.

"... aku hanya ingin kita terus percaya. Suatu saat yang akan datang, aku yakin, kita semua akan kembali damai seperti dulu. Celia, janganlah berhenti untuk percaya." Lanjutnya.

Celia berdecak kesal. Lalu mengalihkan pandangan pada kakak tertuanya.

"Kau belum menjawab soal Kak Lea yang akan menyerang kita. Berarti kau juga ragu, kan?!" Celia mulai mencecar.

Elfen yang mendengar tuduhan itu mulai kehilangan kesabarannya dan sedikit meninggikan suaranya. Namun tak sampai terdengar oleh pengawal di bagian depan.

"Ya Tuhan, Celia!! Sungguh!! Kalau memang katamu benar bahwa Lea akan melawan kita, seharusnya dia sudah menyerang kerajaan ini semenjak dulu. Dia kan punya pasukan naga yang sangat kuat. Tentu saja dia bisa memanfaatkan itu untuk mengalahkan kita. Tapi ... apa?! Dia bahkan belum pernah sekalipun menyentuh kita dengan naga-naganya."

Celia yang mendengar argumen sang kakak meneguk salivanya. Kakaknya yang satu itu begitu menakutkan ketika marah. Baiklah, ia akui sepertinya kali ini dia memang sudah kelewatan. Menuduh-nuduh Lea atas hal yang ia sendiri belum tahu kebenarannya seperti apa.

"Hhh ... m-maaf. Tapi bagaimanapun Kak Elfen berusaha untuk membuatku percaya, aku tidak bisa. Kita harus berjaga-jaga kalau saja itu benar!"

Elfen hanya bisa memijat keningnya perlahan saat mendengar jawaban adiknya itu. Sebenarnya ia tidak suka jika melihat Celia dan Lea yang kian hari kian menjauh dari satu sama lain. Tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa. Segala cara sudah ia lakukan demi keharmonisan hubungan mereka. Namun ia selalu berakhir gagal dan hanya menyakiti dirinya sendiri.

"... hhh ... baiklah. Terserah kau saja."

Hening seketika. Hanya terdengar suara roda mobil yang memenuhi gendang telinga mereka. Hembusan angin yang tadinya lembut berubah menjadi kencang. Seketika membuat Celia melihat ke langit. Sudah ada gumpalan awan berwarna kelabu yang sudah menutupinya.

Sepertinya hari ini akan penuh dengan kesialan. Sudah lah bertemu para Analyst di Desa Raega, pembicaraan tentang Lea yang tak ada habisnya, langit mendung. Apa lagi? Luna akan berada dalam bahaya?

Oh. Ngomong-ngomong soal kesialan...

"Kak Elfen."

"Hm?"

"Kau ... masih ada rasa cinta dengan wanita sial itu kan?"

*DEG!*

Seketika itu juga, tubuh kekar Elfen seolah-olah membeku di tempatnya. Bola matanya membulat cemas.

Sial. Apakah ekspresinya saat berhadapan dengan Brianna tadi terlihat begitu jelas? Memalukan. Sepertinya ia harus mulai belajar untuk mengontrol raut wajahnya dari sekarang.

"Hah? A-apa maksudmu?! Aku kan hanya--"

"Aku tau kau hanya sedang berpura-pura mencelanya dan menghinanya tadi. Padahal sebenarnya kau masih menyayanginya dan berharap dia bisa berubah. Bukankah begitu, kak?!" Celia memotong sembari memberikan penekanan pada suaranya.

Saving The ConifuxWhere stories live. Discover now