Lembur bikin panas

4.5K 16 0
                                    

Tak ada yang aneh. Selama di rumah Nita, Yuda bersiap seperti biasanya orang pacaran, meski malu-malu Pras paham betul dengan keadaan semacam itu.

“Kulihat kamu diam terus dari tadi, kenapa?” tanya Yuda, keduanya merebahkan diri di kasur sambil menunggu kantuk.

Pras miring menghadap Yuda, “Jawab, Yud. Kamu tahu kan siapa Teni itu?”

Yuda malah tertawa, “Pras, Pras, kamu dari tadi masih mikirin itu?” menggeleng, “Teni itu cantik, siapa yang tak tertarik dengannya.” Menghela napas, Yuda menatap langit-langit kamar, "Kamu memang temanku, Pras. Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun. Teni gadis kota, kamu pasti tahu, mamak tidak suka dengan gadis kota, apa lagi yang gaul seperti Teni, jadi aku mencoba dekat dengan Nita.”

“Tapi kalau Teni terus begitu aku gak kuat, Yud.” Pras juga menatap langit-langit kamar sekarang.

“Maksudmu?” Yuda menoleh.

“Aku mengantar Teni tadi. Di rumahnya sepi, entah bagaimana awalnya, teh itu tumpah, aku ke kamar mandi, dan Teni menggodaku. Aku takut kebablasan, Yud. Tapi berhenti bekerja juga bukan pilihan yang bagus.” Pras di ambang dilema.

Yuda tertawa, “Jadilah pria sejati, Pras. Semua pria tabiatnya sama, kan? Sekali dua kali bukanlah masalah besar. Jangan terlalu dipikirkan.”

Pras dengan cepat menggeleng, “Lana sangat mencintaiku, Yud. Dia setia di kampung. Mana bisa aku mengkhianatinya?”

Yuda memunggungi Pras, “Pikir saja sendiri, Pras. Kita ini pria dewasa. Tidurlah. Jangan sampai hanya karena itu kamu terlambat kerja.”

Pras tak lagi bertanya. Benar kata Yuda, tak harus dia gelisah dengan masalah sepele begini.

***

Hari ini Pras bekerja seperti biasa. Teni terlihat dari kejauhan, tubuh Teni memang seksi, apa lagi bayangan Teni telanjang sambil mengocok kemarin, malah membuatnya gila. Mau pakai baju apa pun Teni, rasanya malah telanjang dan sama saja. Seperti saat ini, Pras beberapa kali membuang muka, tapi tetap saja Teni seperti tengah telanjang dan mendekatinya.

“Mana laporannya, Pras?” tanya Teni. Dia memakai baju terusan dan hanya sebatas lutut saja.

Pras menyodorkan catatannya, “Kenapa ke pabrik pakai baju kayak gitu, Ten?”

Teni melihat dirinya sendiri, “Kenapa? Aku sering memakai baju seperti ini. Eh!” buku laporan yang diberi Pras jatuh, tanpa malu Teni segera menungging untuk mengambilnya, dan tentu saja semua itu disengaja.

Pras membuang muka, celana dalam merah itu terlihat terlalu jelas, dan itu semakin membuatnya gila.

“Sabtu besok ada lembur, kamu mau ikut?” Teni menawari.

Pras menggeleng, “Aku mau pulang. Jenguk istriku.”

Teni mengangguk, “Kalau mau, bos memberimu uang tambahan lima ratus ribu untuk minggu depan, kalau gak mau gak apa-apa, aku tawari orang lain saja. Kupikir kamu temanku, jadi aku menawarimu dulu.” Teni berbalik, dia akan kembali ke ruangannya.

“Berapa gajinya?” Pras memastikan dia tak salah dengar tadi.

“Lima ratus ribu.” Jawab Teni hanya berbalik tanpa berniat kembali mendekati Pras. Melihat wajah bimbang itu, Teni menambahkan, “Hanya sampai jam delapan. Banyak truk, siapa yang mau nyatat, kamu juga gak sendiri, ada dua orang lagi.”

Barulah Pras merasa aman, “Ya, aku mau. Aku memang sedang butuh uang saat ini.”

Teni mengangguk, “Okey. Aku catat namamu.”

Saat pulang, Pras mengajak Yuda makan di warung biasanya, “Kamu minggu ini pulang atau tidak, Yud?”

Yuda mengangguk, “Kamu mau nebeng?”

Pras menggeleng, “Ada lembur, uang sakunya lima ratus ribu, aku nitip surat aja buat Lana.”

Yuda mengangguk, pilihan yang bagus menurutnya.

***

Hari yang dinanti tiba. Semua pekerja bersiap pulang, Pras juga merapikan laporan harian, baru setelahnya bergabung dengan pekerja lembur untuk lanjutan. Teni tidak membohonginya, memang ada dua orang lain di sini. “Truk sedang banyak? Padahal siang saja kita tak bisa leluasa istirahat.” Pras hanya omong kosong antar teman.

Pekerja yang lebih tua tertawa, “Kamu lupa? Sekarang kemarau, tebu lebih manis dari biasanya, semua petani datang ke pabrik yang paling besar karena harganya lebih tinggi, kalau hujan pasti pergi, cari pabrik kecil karena mereka harganya selalu di angka itu.”

“Benar.” Sahut yang lebih muda, “Kalau musim hujan, bisa dibilang kita makan gaji buta. Hahahaha.”

Pras ikut tertawa. Baru saja ingin menimpali, beberapa truk datang, dan dia kembali ke tempatnya. Mencatat apa saja yang seharusnya, hingga angin dingin menyelimut semakin pekat. Tak lama seorang wanita mendekat, itu adalah Teni yang membawa nampan, Pras memilih untuk bergabung dengan teman lainnya.

“Kopi, Pak. Tinggal delapan truk lagi, mungkin dua puluh menitan sampainya, tanda tangan dulu di sini.” Teni menyodorkan kertas lembur.

Pras ikut membubuhkan tanda tangan, sepertinya dia bisa menikahi Lana secara sah kalau kerja begini terus. Melihat dua temannya minum Pras pun ikut minum.

“Kalau sudah selesai, ke kantor saya dulu ya, Pak. Ada bingkisan dari bos, silakan dibawa pulang nanti.” Teni segera undur diri.

Pras menoleh ke temannya, “Apa kalau lembur seenak ini?”

Kedua temannya tertawa, “Kamu belum pernah lembur?” Pras menggeleng, “Kalau ada, mau saja, bukan hanya gaji yang besar, biasanya kita juga dapat beras lima kilo, kalau tidak ya mi satu dus, lumayan. Apa lagi kamu kos.”

Pras mengangguk, benar juga kata temannya. Melihat truk mendekat dari kejauhan, Pras pun segera menghabiskan kopinya, ini adalah truk terakhir, dia harus semangat. Tinggal beberapa truk lagi dan Pras merasa tubuhnya begitu aneh. Semakin bergerak seolah semakin bersemangat, ditambah dengan miliknya yang tiba-tiba tegang. “Aduh! Kenapa ini? Apa karena sudah jatahnya aku pulang dan bergaul dengan Lana? Tidak tepat sekali.” Pras semakin tak karuhan, tapi dia tak mungkin berhenti di tengah jalan.

Saat truk terakhir dicatat, Pras segera ke kantor Teni, menerima bingkisan yang ternyata beras lima kiloan, “Aku langsung pulang ya, Ten?” pamitnya. Dua temannya tadi juga langsung pulang setelah mengambil beras.

Teni tersenyum, “Aku nebeng, ya? Malam banget, aku gak berani pulang sendiri.” Teni mengusap lengan Pras.

Seolah setengah gila. Pras menelan ludah, sentuhan itu membuat Pras mabuk meski dia masih sadar dengan siapa dirinya saat ini. “Gak bisa, Ten. Aku gerah. Kalau ibumu tahu, bauku gak enak, keringetan begini. Ibumu gak mungkin gak nyuruh masuk.” Pras hanya ingin menghindari Teni.

Teni tertawa, “Kos kamu kan dekat? Mandi dulu. Aku tungguin, gimana?”

Seolah dipojokkan, Pras pun mengangguk, dia mengajak Teni ke kosan untuk menaruh beras dan mandi sebelum mengantar Teni pulang. Begitu celaka rasanya, Teni memeluk pinggangnya erat, Pras tidak nyaman, tapi dia tak bisa melarang. Sesampainya di kosan, “Aku mandi dulu, Ten.” Dengan cepat masuk kamar mandi.

Kamar ini bersih, Teni sudah pernah ke sini saat bercinta dengan Yuda, dan sekarang dia akan mengulanginya dengan Pras. Teni segera mengunci pintu, melepas semua pakaian yang dia kenakan, dan mengangkang di ranjang. Menunggu dengan sabar, saat Pras ke luar dari kamar mandi, Teni pun segera mengusap miliknya, “Pras, sentuhlah ini sekali saja." pintanya setengah memelas.

Malam KemarinWhere stories live. Discover now