23. Hati yang Terluka

18 11 3
                                    

Menjelang malam itu, Jehian akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat sedangkan begal yang hampir mencelakai Riani hanya ditangani seadanya sebelum digiring ke pihak berwajib

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang malam itu, Jehian akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat sedangkan begal yang hampir mencelakai Riani hanya ditangani seadanya sebelum digiring ke pihak berwajib. Riani sendiri tertahan di muka unit gawat darurat karena permintaan Jehian untuk berada di sana. Jadilah Riani berakhir duduk termenung di luar UGD dengan petugas rumah sakit yang membersihkan lukanya.

"Udah beres ya, Teh, untuk sementara jangan dulu kena air sampai lukanya kering," ucap perawat yang menangani luka di sikut Riani.

Gadis berambut panjang bergelombang pun mengangguk kecil kemudian mengucapkan terima kasih setengah lirih. Sejak lukanya ditangani Riani tidak banyak bergerak, ia hampir mirip boneka yang sedang diutak-atik kemudian merespons sedikit setelah di ajak bicara.

"Baik, saya permisi, nanti dikabari lagi kondisi Aanya kalau udah selesai."

Riani mengangkat senyum getir ketika baru bisa sadar tentang siapa yang dibicarakan. Kejadian Jehian menabrak begal dan dirinya membuat Riani tidak terpikirkan kenapa pemuda tersebut ada di sana. Ia baru sadar dan merenungi hal itu, berandai kalau dirinya menerima tawaran Jehian, mereka mungkin takkan berakhir seperti ini atau jika saja Jehian tidak mengikutinya, pemuda itu takkan penuh luka.

Hal ini membuat Riani merasa bimbang. Ia merasa bersalah karena keengganannya membawa seseorang ke dalam petaka, tetapi sayangnya seseorang itu adalah Jehian, orang yang ingin Riani buang.

Riani mendongak ke langit malam seraya menghela napas panjang. Jehian, makin banyak kamu ngelakuin sesuatu, perasaanku makin gak bisa tenang.

Di pintu unit gawat darurat siluet orang lumayan tinggi lewat dengan cepat. Riani hanya meliriknya dari sudut mata sekilas, tetapi belum lama orang itu keluar lagi dari unit gawat darurat dan mengampirinya. Ketika wajahnya terkena cahaya lampu tempat Riani duduk, ia mengenal siapa orang tersebut.

"Kak Windu kenapa di sini?" tanya Riani menaikkan sebelah alis.

Orang berjaket coklat dan celana jeans hitam ternyata adalah Windu, dia datang masih dengan napas tersengal-sengal. Butuh waktu untuk menormalkan pernapasannya sampai lelaki tersebut bisa berbicara.

"Kamu enggak apa-apa?" Alih-alih menjawab, kalimat yang keluar dari bibir Windu malah bertanya balik. Dia menatap Riani keseluruhan dengan mata yang melebar.

Riani mengangkat sedikit sikutnya yang sudah terbalut perban kasa. Keningnya masih berkerut keheranan adanya Windu. "Enggak apa-apa, cuma sikutnya berdarah, tapi kenapa Kakak di sini?"

"Telepon dari Jehian," jawab Windu singkat sebelum duduk di sebelah Riani. Badan Windu sudah tidak lagi menegang kala mengetahui Riani tidak terluka parah.

"Ngapain Jehian telepon Kakak, harusnya dia telepon ibunya," ujar Riani makin heran.

Windu mengedikkan bahu sedikit lalu menyahut, "Dia minta saya anterin kamu pulang."

✔ Kepentok Klub Anti CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang