Separuh kalimatnya adalah dusta.

“Aku tidak pernah mencintaimu. Kita pasangan yang buruk untuk satu sama lain. Tidak ada ketulusan dalam hubungan ini dan kita hanya akrab saat sedang bercinta. Aku tidak keberatan saat kau melakukannya dengan pria lain; tidak ada perasaan cemburu sama sekali. Aku paham kalau kau membutuhkannya dan aku tidak selalu bisa memberikannya.” Meskipun suaranya sama sekali tak disertai emosi, tapi Jaehyun tetap bisa merasakan tenggorokannya tercekat. Dapurnya tak pernah menciptakan suasana berat yang membuat dadanya sesak seperti ini, seingatnya tempat ini selalu menyenangkan. Tapi dengan kehadiran Jennie—pertama kali setelah sekian lama—atmosfer di ruangan ini sepenuhnya berubah. Perempuan di hadapannya menunduk sambil menangkup muka dengan kedua bibir terkatup rapat. “Jen?”

“Hm?” Jennie hampir selalu merespon panggilan tersebut. Jen. Hanya Jaehyun yang memanggilnya dengan nama itu.

“Kau mau pelukan perpisahan?”
Itu memang terdengar seperti tawaran. Tapi sebenarnya Jaehyun hanya sedang meminta izin. Hatinya berdenyut ngilu. Ternyata berpisah dengan Jennie tak semudah yang dipikirkan.

“Apa harus seperti ini?” kata Jennie hampir tumbang.

“Tidak ada jalan yang lebih baik dari ini.”

Jennie kembali memeluk tubuh Jaehyun—menumpahkan segala macam emosi yang tidak bisa dibahasakan ke dalam tangisan yang terdengar lebih keras. Ia dapat merasakan tangan pria itu merengkuh tubuh mungilnya dengan erat. Sentuhan di ujung jari-jemarinya membawa segulung kasih sayang yang membuat Jennie semakin rapuh. Ini adalah akhir. Pendirian Jaehyun tidak pernah bisa diubah.

“Jay?”

Itu adalah nama yang Jaehyun gunakan saat tinggal di Britania. Di seluruh Semenanjung Korea, hanya Jennie yang akan memanggilnya dengan nama itu.

“Sayang?”

Jaehyun masih memeluk mantan tunangannya. Membiarkan dia mengatakan apapun yang diinginkan tanpa batasan maupun larangan.

“Sayangku. Jay. Sayang.”

“Baik, ini mulai kedengaran menyebalkan.” Jaehyun setengah bergurau.

“Aku tidak akan bisa memanggilmu dengan sebutan itu lagi setelah ini.”

Jaehyun terkekeh. “Benar, kau tidak boleh memanggilku dengan ‘sayang’ lagi setelah ini. Bukankah itu akan sedikit menganggu?”

“Aku sama sekali tak keberatan,” sahut Jennie serius.

“Aku yang keberatan.” Jaehyun juga menyahut dengan serius.

“Untuk terakhir kalinya, apa kau mau melakukan itu?”

Sempat ada jeda yang cukup panjang. Jaehyun membiarkan kesunyian menelan bersamanya keraguan yang sempat membayangi seperti jaring laba-laba. Perlahan ia melepas pelukannya, mengecup pipi Jennie sebagai salam persahabatan, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Maaf, tapi aku sedang tidak ingin melakukannya. Tubuhmu agak hangat, tidurlah di sini, kau bisa menggunakan kamarku kalau mau. Ada pekerjaan yang harus kubereskan, jadi aku akan berada di ruang belajar semalam suntuk.”

Jaehyun sedikit berharap Jennie akan tetap tinggal di rumahnya sampai pagi. Tapi saat jarum jam menunjuk angka empat dini hari, ia sama sekali tak menemukan presensi Jennie di sini. Tentu saja, mengingat betapa keras kepalanya perempuan itu, saran darinya hanya akan dianggap angin lewat. Selain itu, ia mengetahui hal ini tanpa harus menjadi pria peka, dengan hati yang sepenuhnya patah, Jennie mungkin tak akan mampu menahan tumpukan rasa sakit yang dapat timbul sewaktu-waktu. Untuk kali pertama setelah sekian lama, Jennie bersikap selayaknya wanita pintar. Ia harus memutuskan. Dan pergi adalah keputusan paling tepat.

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now