Tiga puluh sembilan

3.2K 273 191
                                    

Vote-nya jangan lupa!

❝Aku berharap, suatu saat akan ada keajaiban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝Aku berharap, suatu saat akan ada keajaiban. Keajaiban yang dimana kebahagiaan kembali memihak kepada ku, bukan lagi tentang luka yang terus menggores ku.❞

•••

Mangkuk putih berisikan bubur ayam tadi pagi belum tersentuh sedikit pun dia atas nakas oleh Jessi yang masih nyaman membaringkan tubuhnya di atas kasur kamarnya, sorot matanya mengawang jauh, pikirannya berkelana tanpa arah. Tanpa perlu di pertanyakan lagi, dalang dari keterdiaman Jessi sekarang tak jauh-jauh karena Vano––ralat, seharusnya Jessi tidak perlu seperti orang galau karena Vano yang lebih memilih Dita ketimbang dirinya yang tidak begitu berarti bagi lelaki itu.

Sesaat Jessi menghela napas hingga setelahnya melirik ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang, tepat detik itu juga perutnya kembali berbunyi. Ia menoleh pada nakas yang di atasnya masih ada mangkuk berisikan bubur ayam yang dibeli Vano pagi tadi. Jessi tahu, bubur itu pasti sudah dingin, namun karena tidak enak hati mengabaikan kebaikan Vano dengan rela membelikan bubur ayam sebelum berlenggang menemui Dita, terpaksa Jessi memakannya.

Masih tetap betah di atas kasur, Jessi memakan bubur ayam itu hati-hati. Satu suapan sudah masuk ke dalam mulutnya, Jessi mengunyahnya pelan, sambil bergumam pelan, "Hambar, kaya hidup Bunda, sayang." Tangan perempuan itu mengusap lembut perutnya dengan tatapan hampa.

Jika tidak mengingat janinnya sekarang, mungkin Jessi tidak akan habis memakan bubur ayam itu. Dengan rasa setengah terpaksa, satu suapan terakhir menghabiskan bubur ayam itu di mangkuk. Ia meletakkan kembali ke tempat semula, lalu berganti mengambil ponselnya. Benaknya tiba-tiba menyebut Bunda, membuatnya lekas mencari kontak Bunda untuk ia telepon, mendadak ia merindukan sosok wanita itu.

Sempat menunggu cukup lama panggilan terhubung, membuat Jessi mengerutkan kening sejenak, sebelumnya Bunda tidak pernah selama ini mengangkat teleponnya. Kemana Bundanya sekarang? Apa sedang sibuk? Ketika ia ingin mengurungkan niatnya menelepon Bunda, tepat saat itu panggilan tiba-tiba terhubung.

"Sayang, maafin Bunda ya lama ngangkatnya."

"Bunda lagi sibuk ya? Kalau sibuk, nanti aja teleponnya."

Di sebrang sana terdengar rusuh, membuat Jessi semakin bingung saja dimana Bundanya sekarang. Bahkan ucapannya barusan pun belum dijawab oleh Bundanya, lantas Jessi kembali menyapa. "Bunda?"

"Iya? Bentar ya."

"Bunda lagi dimana sih? Kaya rame banget," tanya Jessi masih dengan rasa penasarannya.

Sama seperti sebelumnya, Bunda Wenny tidak menjawab dengan cepat, justru sekarang terdengar suara lain yang menyapa indera pendengar Jessi, perempuan itu semakin mengerutkan kening ketika mendengar pembicaraan di sebrang sana.

I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang