Dua puluh tujuh

3.3K 304 518
                                    

Vote-nya jangan lupa!

❝Jangan pernah menambah luka kepada seseorang yang sedang berjuang mencari cara untuk sembuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❝Jangan pernah menambah luka kepada seseorang yang sedang berjuang mencari cara untuk sembuh.❞

•••

Pagi telah tiba, awal baru bagi kehidupan Jessi sekarang. Hari ini ia akan kembali ke unit apartemennya. Bukan untuk menetap diri di sana dan bersantai seperti biasa, namun untuk mengambil semua pakaiannya. Untuk keduanya kalinya, ia meninggalkan tempat ternyaman baginya. Harus pindah ke rumah baru yang menjadi milik Vano dan dirinya. Tinggal satu atap, berdua. Membayangkan akan tinggal bersama dengan lelaki si pemilik mata tajam itu Jessi terus bergidik ngeri––rasa-rasa tidak percaya juga.

Ini kali pertama bagi Jessi duduk di kursi mobil Vano, aroma kopi menyeruak di dalamnya, bising suara keduanya tidak terdengar sama sekali, yang ada hanyalah alunan musik klasik yang membuat Jessi terhanyut dalam perjalanannya. Sesampai di apartemen Jessi, gadis itu––ah mungkin sekarang bisa disebut wanita itu, turun lebih dulu. Melangkah meninggalkan Vano di belakang.

Tangan Jessi sudah menarik kenop pintu, pintu cepat terbuka, wanita itu langsung saja masuk ke dalam. Ia tersenyum hampa melihat sekelilingnya. Tempat ini akan ia tinggalkan, tempat penuh kenangan, dan tempat ternyaman bagi Jessi selama tujuh tahun berada di Jakarta. Mungkin ia akan merindukan tempat ini nanti, atau ia akan kembali lagi ke sini?

Jessi memasuki kamarnya, ditariknya koper untuk memasukkan semua pakaiannya. Untunglah ia tidak terlalu banyak pakaian, jadi dua koper dan satu tas besar untuk hal-hal lainnya bisa masuk semua. Di ambang pintu Vano berdiri, melihat Jessi yang kesusahan menarik dua koper dan tas besarnya, Vano dengan cepat menghampirinya.

"Gue ikut ke sini gunanya mau bantuin lo." Tangan kekar itu langsung saja mengambil alih dua koper yang ditarik Jessi barusan, dan satu tas besar yang ia letakkan di atas koper untuk mempermudahnya membawa.

"Kirain tadi kamu diam di mobil aja." Sebenarnya Jessi canggung mengucapkan 'kamu' di dalam kalimatnya barusan. Namun karena sekarang status keduanya sudah suami istri, rasanya bagi Jessi sangat tidak sopan jika terus menggunakan 'lo-gue' dalam ucapan.

"Sejahat itu kah gue dipikiran lo sampai-sampai lo berpikir gue biarin bumil kaya lo bawa koper sama tas besar ini sendirian?"

Jessi diam, tidak berniat lagi menjawab. Sebab perdebatan panjang tidak akan mungkin selesai. Vano lekas memimpin jalan, langkah besar itu tidak dapat sejajar dengan langkah kecil milik Jessi. Wanita itu terus tertinggal di belakang, Jessi juga tidak berminta mengejar agar jalan beriringan.

Setelah semua barang Jessi dimasukkan ke dalam bagasi, baru Vano menginjak pedal gas menuju rumah barunya bersama Jessi. Masih tetap dengan suasana hening tanpa suara dari keduanya. Jessi melirik ke arah Vano sebentar, tangannya memilin ujung rok yang ia kenakan. Dengan keyakinan yang mantap, suara pelan dari Jessi terdengar di kedua telinga Vano.

I'm Promises || ᴋᴛʜ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang