Yashinta berdecak kecil. "Benni pasti menang 'kan, Mas?" sindirnya pada sang putra.

Aksa hanya tertawa. Ia menerima nasi goreng yang disodorkan sang ibu. Mengucap terima kasih kepada asisten rumah tangga yang mengantarkan kopi untuknya, namun Aksa belum melahapnya. Sejenak, ia memakukan perhatian pada ibunya yang duduk di hadapannya. Matanya melirik pada sebuah tongkat yang bersandar di kursi sebelah sang ibu. "Mami hari ini terapi?"

Ibunya sempat mengalami kelumpuhan setelah kecelakaan yang terjadi delapan tahun lalu. Duduk di kursi roda selama hampir lima tahun, lalu mulai menggunakan tongkat berjalan beberapa tahun ini.

"Iya, hari ini Mami terapi. Kenapa? Mas Aksa mau nganterin?"

Sambil meringis, Aksa mengulum senyum kecil. "Lain kali, ya, Mi. Hari ini beneran sibuk banget," ungkapnya tak enak. Lalu nelangsa itu hadir tanpa mampu dicegah. "Maafin aku, ya, Mi?"

"Mas, kita semua udah sepakat mengikhlaskannya 'kan?"

Benar.

Tapi rasanya masih saja ada hantaman sesak di dada tiap kali melihat kondisi ibunya yang seperti ini. Andai dapat memutar waktu, Aksa tak akan meminta jemput di bandara hari itu. Mereka bertiga pasti baik-baik saja. Menjalani hari-hari sebagaimana takdir yang mereka inginkan. Tanpa ada rasa bersalah. Tanpa ada penyesalan.

Ibunya pasti tidak akan terluka.

Dirinya pasti tidak akan berada di sini.

Dan yang pasti kakak laki-lakinya-

"Mas?"

Aksa menelan ludah, kemudian mengeratkan rahangnya. "Maaf, Mi," gumamnya pelan. "Maaf," lagi ia haturkan penyesalan tanpa berkesudahan. "Maafin aku."

Demi Tuhan, ia tidak suka berandai-andai. Namun rasanya, pagi ini sesaknya benar-benar luar biasa. Sambil mengusap dada, ia mencoba mengatur napasnya pelan-pelan.

Andai saja, delapan tahun yang lalu itu ia pulang dengan menggunakan taksi. Mungkin saat ini, segalanya akan baik-baik saja.

"Mas Aksa?

"Ya, Mi?"

"Kata ajudannya papi, mereka ketemu anak-anakmu beberapa hari yang lalu."

Deg.

Aksa mengangkat wajah.

Rautnya pias, sementara matanya memanas.

"Hm," Yashinta menatap anaknya lekat. Tahu apa yang tersimpan di balik danau gelap dalam iris sang putra, ia menghela napas. "Si adek sakit katanya, Mas."

Aksa tak jadi menyuapkan nasi ke mulutnya. Sambil menelan bongkah bara yang tergulung di ujung lidah, ia raih cangkir kopinya. Menyeruput pelan, membiarkan panas mengaliri dada. Sebelum kemudian, ia eratkan rahang. Inilah yang membuatnya selalu ingin berandai tuk terbang ke delapan tahun silam.

***

Aksa adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara.

Kakak pertama dan keduanya merupakan anak kembar. Laki-laki dan perempuan, persis seperti kedua anaknya. Kakak perempuannya mempunyai dua anak. Yang paling besar seusia anaknya-anaknya. Sementara kakak laki-lakinya telah meninggal. Memiliki seorang putri yang kini berusia tujuh tahun lebih. Dan Alvin-adik laki-laki Aksa belum juga menikah, padahal usianya sudah 30 tahun.

Sementara dirinya sendiri, kini berumur 34 tahun. Menjadi salah satu senior advokat di firma hukum milik Omnya alias adik kandung sang ibu. Mendedikan waktu serta pemikirannya dalam membantu menjalankan firma hukum itu hingga sebesar sekarang.

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang