***

"Sebenarnya, kita mau ngapain ketemu ayah, Dek?" tanya Oka begitu mereka sudah masuk ke dalam bus. Duduk bersisian dan mulai sibuk mengancingkan jaketnya. Orang-orang di terminal tadi cukup banyak yang menjadikan mereka pusat atensi. Padahal, keduanya telah melapisi baju seragam mereka dengan masing-masing jaket yang mereka bawa. "Handphonenya mana, Dek?" tangannya menengada meminta ponsel.

"Bentar, Bang," Lova sedang ribet saat ini. Rambut panjangnya yang tadi ia gerai, tengah ia gelung ke atas. Bando berwarna orange yang menghiasi rambutnya, coba ia lepaskan. Ia akan mengenakan tutup hoodie selama perjalanan. "Iya, ya, Bang, kita sebenarnya mau ngapain ketemu ayah?" ia sendiri bingung.

"Lho, kan, ini ide kamu."

"Ya, memang," sahut Lova tanpa rasa bersalah. "Tapi, kenapa Abang iya-iya aja? Aku pikir, Abang udah punya rencana gitu," kilahnya enggan disalahkan. Bus telah melaju dan kini Lova sedang membokar tasnya. "Mana ya, Hpnya, Bang?" Lova mulai meringis karena belum mendapatkan benda yang seingatnya sudah ia masukkan tadi.

"Serius, Lova?" bila Oka sudah memanggil adiknya hanya dengan namanya saja, berarti ia sedang kesal. "Nggak usah macam-macam," maksudnya adalah jangan ada drama yang mengabarkan bahwa ponsel itu tertinggal di rumah. Bukan apa-apa, ini adalah perjalanan pertama mereka menggunakan bus hanya berdua saja. Mereka memang berdoa supaya tidak terjadi apa-apa selama dalam perjalanan, namun tetap saja, mereka butuh ponsel untuk menghubungi sang ayah bila sudah tiba di sana. "Lova?"

Lova menelan ludah, bibirnya tergigit resah. Buku-bukunya sudah ia keluarkan semua. Kotak pensil dan segala ruang-ruang bersleting di dalam tasnya, telah ia periksa. Namun, keberadaan ponsel tetap tak ada juga. "Tadi udah aku masukin, Bang."

Oka menghela pasrah.

Sungguh, kenapa sih tadi bukan dirinya saja yang memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya?

Kenapa pula, ia harus menyuruh Lova?

Ck, sudah tahu adiknya itu teramat teledor.

Astaga, kalau sudah begini mereka harus bagaimana?

"Dek?" dengan nada jengkel, Oka menatap adiknya. "Kamu nggak serius 'kan?" maksudnya adalah keberadaan ponsel yang nihil di tas itu. "Kamu lagi main-main aja 'kan?"

Lova memejamkan mata, mimik wajahnya berubah seketika. "Maaf, Bang," sepertinya ia memang belum memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya. "Kayaknya masih di cas di kamar, Bang," ringisnya merasa bersalah.

Hal yang kontan saja membuat Oka menepuk keningnya kuat-kuat. "Kalau bukan perempuan, udah abis kamu, Lov!" seru Oka kesal. "Astaga, Lova!" ia mengeratkan tangan jengkel. "AH! Terus gimana nanti kalau nyasar? Kita nggak tahu naik angkutan umum apa kalau mau ke kantor ayah!" omelnya benar-benar merasa marah. "Mau jadi gelandangan di sana?! Gimana mau neghubungin bunda kalau ternyata kita justru nggak bisa pulang karena nyasar?! Mau bikin bunda panik?!"

"Maaf, Bang," tutur Lova lemas. Ia sudah tak lagi memiliki tenaga walau sekadar hanya mengangkat kepala. "Sumpah, Bang, Adek nggak sengaja."

"Ck!"

Oka sudah terlanjur kesal.

Sekarang yang perlu ia lakukan adalah mencoba tenang.

Ia akan mengingat-ingat nama jalan menuju kantor sang ayah.

Benar.

Ia harus mengingat nama jalannya.

Walau sekarang yang terlintas di otaknya hanyalah nama firma hukum di mana sang ayah bekerja. Selanjutnya, ia tak mengingat apa-apa.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now