Oka jelas tidak mempercayai adiknya.

Karena satu jam kemudian, Lova benar-benar menjadi pusat perhatian.

***

Seperti apa yang diharapkan dari perkumpulan remaja, suasana riuh tentu saja tak bisa dihindari. Gelak tawa memenuhi aula. Berkali-kali, guru-guru sudah memperingati bahwa sebentar lagi tamu yang mereka nantikan akan memasuki ruangan. Tetapi murid-murid itu seolah tak peduli. Candaan mereka makin tak terkendali, apalagi murid-murid di kelas paling tinggi. Sudah pasti, suara mereka yang berpadu dengan gema di aula, mencipta dengung lebah yang seolah-olah ada didekat telinga.

Tetapi, suasana sontak terkendali kala kepala sekolah yang ditakuti oleh para murid mulai memasuki aula. Keriuhan seperti di pasar malam, mendadak senyap. Walau masih banyak yang saling menyikut, namun anak-anak itu dapat menahan tawa mereka. Meski saat ini sang kepala sekolah yang biasanya melotot memandangi mereka terus saja menebarkan senyum palsu sembari mempersilakan tamu tersebut masuk ke dalam.

Pria setengah baya yang masuk berbarengan dengan kepala sekolah tersebut, berusia 60 tahun. Mengenakan kemeja putih berlengan pendek dengan peci hitam senada dengan celananya. Pantofelnya tampak semengkilap jam tangan emas yang melingkari pergelangan tangannya. Wajahnya tampak sumringah, karena senyum tak pupus dari bibirnya. Kepala enam sudah usianya, namun tak terlihat rambut putih yang mengelilingi kepala.

Entah berapa rupiah yang sudah ia habiskan tuk melakukan perawatan agar usia tidak memakan penampilannya. Yang jelas, Haji Amrullah—begitulah ia biasa disapa—masih tampak segar dan energik.

Oka segera melengoskan tatapan begitu mantan anggota legislatif tersebut naik ke atas mimbar. Ia larikan pandangan ke arah adiknya yang kebetulan sekali juga sedang melempar tatap geli ke arahnya. Berbicara melalui mata yang saling terkoneksi, mereka berdua tertawa.

Jujur, mereka tak pernah bertemu orang itu secara langsung.

Hanya saja, mereka sudah terlanjur tahu bahwa orang tersebut adalah kakeknya.

Lova masih saja tertawa, saat Oka melotot memandanginya. Memberi isyarat tangan agar adiknya itu diem, namun bukan Lova namanya yang menuruti kakaknya dengan mudah. Remaja perempuan itu justru memeletkan lidah. Beberapa guru sudah mulai menaruh atensi padanya.

"Ssttss ...," Oka menempelkan telunjuk di bibir. Sayang sekali jaraknya dan Lova terlalu jauh. Kalau mereka berdekatan, sudah pasti Oka akan membekap mulut berisik adiknya itu dengan telapak tangan. "Lova," desisnya memperingatkan.

"Ngapain sih, Ka?" tegur Zaki sambil berbisik. Ia mengikuti arah pandang sang teman, lalu mengangguk paham. "Lova cakep banget, ya, Ka? Bisa dong—"

"Kagak!" sembur Oka galak.

Buat Zaki langsung tergelak, namun berhasil menutup mulutnya sebelum tawanya mengagetkan kesunyian. "Cakep."

"Ck," Oka berdecak sembari melirik sinis pada temannya itu. "Nggak usah macem-macem. Anak kecil tuh, tugasnya belajar. Bukan malah ngatain anak kecil lainnya cakep," gerutunya sebal.

"Itu juga belajar tahu, Ka?"

"Belajar apaan?"

"Belajar menilai sesama manusia," celetuk Zaki menahan tawa.

"Pinter aja ngeles," cebik Oka malas menanggapi.

"Dulu, sewaktu belum tahu kalau dia adek kamu, aku sempet iri lho."

"Iri apaan sih?"

"Ya, iri aja. Kamu tuh, bisa banget dapet pacar cantik."

"Ck," rasanya Oka terus berdecak akhir-akhir ini. "Kalau udah tahu aslinya Lova gimana, kamu pasti bakal narik ucapan kamu yang bilang dia cantik."

"Kenapa emang?"

"Dia berisik."

Sejurus kemudian, Oka memutuskan ikut larut dalam perbincangan teman-temannya. Walau harus berbisik-bisik, mereka tak lagi peduli pada apa pun yang disampaikan kepala sekolah. Suara kakek tak tahu diri mulai menyapa, Oka sempat mendongak sekilas. Tetapi selebihnya, ia tak mau tahu apa pun yang tengah disampaikan laki-laki tua itu.

Ia sudah memutuskan agar menjadi tak terlihat. Tak ingin menonjol, ia sengaja mengajak teman-temannya memilih tempat duduk di bagian paling belakang. Hal itu, juga ia terapkan pada sang adik. Tadi, ia berhasil menyeret Lova dan teman-teman gadis itu ke bagian belakang juga.

Pembahasan mengenai karakter dalam game online memang tak ada habisnya. Lima remaja laki-laki itu, benar-benar tak tahu bahwa sekarang adalah waktunya kuis. Ada hadiah yang akan diberikan bagi siapa saja yang berhasil menjawab pertanyaan dari Drs. H. Amrullah Hidayat, M.Si.

"Guys, ada hadiah noh buat kuis."

"Halah, paling sepeda," sahut Bagas yang tak tertarik.

"Bukan! Itu mah kalau dari Presiden," Yudha selaku ketua kelas yang tadi menginformasikan pada teman-temannya segera meluruskan. "Dapet uang tunai dua ratus sama ransel, noh," tunjuknya pada deretan tas-tas yang masih dilapisi plastik dan baru saja dibawa masuk oleh beberapa orang. "Mayan, 200, cuy! Bisa bikin top up di Indomaret."

"Dasar bocil epep," Oka tergelak.

"Lha, emangnya kamu bukan bocil, Ka?" sekretaris kelas bernama Azura ikut menimpali. "Buat beli kuota internet aja, Ka. Lumayan. Sisanya, jajanin aku pentol pulang sekolah nanti, ya?"

"Yee, malah modus," timpal Zaki tertawa. "Tapi, kamu ikutan dong, Ka. Bener kata Zura. Duitnya bisa dipakai jajan nanti."

Oka langsung menggeleng. Betapa pun uang itu cukup menggiurkan, namun ia sudah bertekad agar tak mencolok saat ini. "Ogah," jawabnya singkat. "Kalian aja sana kalau mau ikutan. Biar aku yang nanti minta traktir kalian."

Yang lain fokus pada pertanyaan yang akan diberikan, sementara Oka memutuskan menjadi penonton yang lebih memilih memperhatikan figure dai bakal calon kepala daerah tersebut. Dari yang Oka ingat, Haji Amrullah merupakan salah satu penggiat partai politik. Mengawali karir politik dengan menjadi anggota DPRD sebanyak dua kali. Kemudian, naik tingkat menjadi anggota DPD. Dan ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI, sosok tersebut pun kalah. Tapi ternyata, kekalahan priode kemarin tidak membuat ayah empat orang anak itu kapok.

Buktinya, kakek lima orang cucu—andai si kembar memang dihitung—malah maju dalam perebutan kursi Walikota. Padahal, kandidat yang lain adalah generasi-generasi muda. Dengan visi dan misi yang lebih segar. Ditambah dengan wajah good looking, idaman Indonesia, membuat lawan-lawan Haji Amrullah itu lebih dikenal masyarakat.

"Karena sebentar lagi hari Sumpah Pemuda. Siapa di sini yang hafal isi teks Sumpah Pemuda?"

"Saya, Pak!"

"Saya!"

"Saya!"

"Oke-oke, siapa yang tahu ayo tunjuk tangan. Biar Bapak yang milih, ya? Tunjuk tangannya harus serentak. Tapi mulutnya nggak boleh terbuka. Oke?"

Entah kenapa, Oka ingin sekali mencibir suara. Namun kemudian ia menggeleng, ibunya pernah bilang untuk tak menjadi orang yang picik. Jadi, alih-alih membesarkan benci, Oka lebih suka bila mereka tak berinteraksi.

Ya, begitu lebih baik.

Namun, Lova, sepertinya tidak berpikir demikian.

Tepat ketika Oka berpikir, hari ini akan terlewati dengan tenang, ia juga menegang.

"Eyang, aku tahu! Aku hafal isi teksnya, Eyang!"

Itu suara Lova.

Dan apa kata adiknya tadi?

Aku?

Dan ....

Eyang?

Wajah Oka seketika saja berubah horor ketika mendapati Lova justru berdiri dengan tangan terangkat tinggi. Buatnya sontak memekik demi menyadarkan sang adik. "Lova!"

Tetapi gadis itu malah memberinya cengiran. "Hehehe ... Abang ..."

Bagus sekali!

Karena ternyata, tak hanya Oka yang memucat.

Tetapi, bintang utama dari acara hari ini pun tampak pias.

*** 

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now