5

140 22 15
                                    

Jeon Jungkook

10 years later
September, 2024

It’s finally autumn.

Aku mengambil nafas sebanyak-banyaknya selagi menghirup udara segar di taman. Pergantian musim panas ke musim gugur adalah hal favoritku di dunia ini.

Karena saat musim gugur, aku bisa dengan leluasa memandangi daun-daun berjatuhan dan itu cantik sekali. Entah mengapa, menurutku, musim gugur itu adalah waktu yang tepat untuk jatuh cinta. Vibes nya cocok untuk romantisme.

Don’t mind me. Aku sudah terlalu lama sendiri, jadi hal itu membuatku sedikit cringe.

Terakhir kali aku jatuh cinta—tidak tahu kapan. Tapi, untuk terakhir kali menjalin hubungan . . . well almost three years ago, ketika usiaku 24 tahun.

It didn’t last karena aku terlalu sibuk dengan urusanku. That girl—Olivia—probably my first ever serious relationship. Karena aku sudah mengenalnya sejak kami berkuliah bersama di Cambridge. And I’m not gonna lie, aku menyukainya lebih dulu karena dia cantik. Jadi aku berusaha mendekatinya.

Kami menjalin hubungan selama satu tahun. Everything was great at first, tapi kemudian ketika aku semakin disibukkan dengan tugas-tugas kerajaan yang merupakan tanggung jawabku, di situ hubungan kami mulai merenggang. Aku terlalu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk bertemu dengannya, bahkan di akhir pekan.

Dan aku tahu itu salah jika aku terus mempertahankan hubungan kami. Jadi, saat Olivia meminta untuk mengakhiri semuanya, I let her go. Because I know that she deserves better.

Berada di taman membuatku teringat akan masa kecilku. Di sini, di atas rerumputan dan daun yang berjatuhan, aku berbaring. Tertawa bahagia seakan-akan dunia akan berakhir besok.

Di taman ini, aku dan Sifra bermain. Cause she was my one and only friend.

Omong-omong soal Sifra, aku tidak lagi bertemu dengannya. It’s been ten years. Bahkan mengetahui bagaimana keadaannya pun tidak. Kami benar-benar lost contact. Sampai sekarang, aku tidak tahu di mana keberadaannya.

Kuharap dia baik-baik saja. I miss her so much, tho.

“What are you doing here?”

Aku menoleh dan mendapati Mama yang sedang berjalan ke arahku. “Hi, Mum.” Kuberikan senyum padanya, lalu aku merangkul pundaknya seraya berkata, “As you can see, aku sedang menikmati pemandangan daun yang berguguran.”

“And so?”

“Entah kenapa, vibes nya begitu romantis.”

Mama mencibirku. “Tahu apa kau mengenai romantisme?”

“Tentu aku tahu. I’ve been in a relationship before, you know.” Kataku.

Mama mencibir lagi. “Sure. Why don’t you go find another one?”

“Untuk sekarang, sepertinya tidak bisa. Aku ingin fokus dengan diriku sendiri. Aku juga belum siap untuk membuka hati.”

“Lalu, kapan kau memiliki rencana untuk menikah jika kekasih saja tidak punya?”

“Menikah? Bahkan aku belum memikirkan itu.”

“Why not? Mama menikah dengan Ayahmu ketika Mama berusia 22 tahun, lalu melahirkanmu di usia 23 tahun. But look at you, di usia 27 tahun, kekasih saja tidak punya.”

Aku memutar bola mataku. “Itu berbeda, oke.” Ujarku. “But, how did you know that father was the one for you?”

“Hmm?”

“Bagaimana Mama bisa tahu bahwa Ayah adalah orang yang tepat—your own Mr. Right, lalu memutuskan untuk menikah dengannya?”

“Ketika kau jatuh cinta, kau tidak akan mempertanyakan apakah dia adalah orang yang tepat atau tidak. Because deep down inside, you just know it.”

The Prince and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang