Prolog : Sebuah Kolase Warna

9 1 0
                                    

Bagian terindah dari sebuah kisah adalah selesai dalam keadaan baik. Tak ada yang berlebihan dalam bahagia dan tak ada yang menyesal berlarut-larut. Kehidupan yang aku alami begitu warna-warni. Aku mengenal warna merah jambu ketika aku memasuki usia remaja, siapa yang tahu bahwa aku akan jatuh cinta pada pandangan pertama dan berakhir memendamnya selama 4 tahun terakhir ini?

Beberapa kali aku juga bertemu warna biru yang berarti aku menjumpai ketenangan. Aku merasa lepas seperti burung Elang hitam yang terbang di sekitar Hutan Damarwulan. Mengepakkan sayap dan mengambil banyak oksigen dari pundi-pundi udara, mirip ketika aku mengambil napas panjang di hadapan hamparan sawah ketika sore hari sambil melihat senja.

Beberapa kali aku juga berjumpa dengan warna merah. Bukan berarti aku berani melawan sebuah tata krama yang sudah dibentuk oleh sesepuh jaman dahulu dan ditemurunkan secara turun-temurun, tetapi dalam beberapa periode aku merasa lelah dengan semua keadaan yang aku hadapi dan berakhir mendiamkan orang sekitarku yang tidak bersalah. Sebuah seni marah yang ada dalam diriku yaitu dengan diam saja, selain takut kehilangan batas, aku juga takut salah berbicara ketika marah atau kesal.

Dan warna lainnya, akan aku ceritakan selama cerita kecil ini berlangsung.

Dari sekian banyak warna yang aku temui hingga berumur 18 tahun, warna yang paling sering aku temui  adalah abu-abu. Aku sering tersesat di antara kabut hingga aku berlama-lama di sana dan tak mengetahui arah tujuanku, ada momen dimana aku merasa tak mengenal diriku sendiri, ada momen ketika aku merasa semua hal yang aku lakukan sangat sia-sia dan tidak berguna. Dari warna abu-abu tersebut aku mencari warna putih agar aku bisa memperbaiki segalanya. Mengatur kehidupanku sendiri, mencari jalan keluar atas ketersesatan yang aku alami, mengenal diriku lebih banyak, dan menerima keadaan ku apa adanya tanpa banyak sangka.

Aku teringat bagaimana dulu Davin bertanya padaku, tentang langit yang begitu aku kagumi. "kenapa lo suka banget lihatin langit, apa yang bagus dari langit kelabu yang lagi lo lihat ini?"

Sebenarnya Davin... tidak ada jawaban mengapa aku menyukai langit. Aku hanya merasa lebih tenang dengan memandang hamparan biru muda dengan gumpalan putih yang mirip permen kapas atau hamparan gelap yang dipenuhi pernak-pernik bintang, mirip melihat kunang-kunang di sawah dekat rumah nenekku sewaktu aku kecil dulu. "Mereka sederhana, Dav." Begitu jawabku. Sederhana seperti bagaimana waktu membuat aku mengenalmu.

Sejak kecil, orang-orang memanggilku Rumi. Aku tak pernah mengerti mengapa ibu pertama kali memanggilku demikian padahal panggilan tersebut tidak ada di nama lengkapku.  Bratarini Puspa Magentha. Nama lengkapku. Alih-alih memanggilku Rini, Puspa, atau Magentha, beliau justru memanggilku Rumi. Aku menyukai dalam bentuk apa saja orang sekitarku memanggilku kecuali dengan sebutan yang tidak pantas.

Aku menyukai gambar-gambar abstrak dan tulisan romantic. Kedua nya terkadang menjadi temanku ketika malam datang dan insomniaku ikut menghampiri. Kedua hal tersebut adalah obat paling manjur untuk menyembuhkan lelah.

"Pagi pak." Aku menyapa dan menundukkan kepala sewaktu berpapasan dengan guru seni budaya di lorong kelas 12. Pagi ini sesuai rutinitas hari senin sampai jum'at yaitu sekolah. Tak ada tempat yang lebih menarik daripada tempat ini, walaupun aku kurang suka dengan hal yang berkaitan dengan angka, namun aku tak membenci sekolah sepenuhnya. Di sini aku bisa melihat dari belakang bagaimana punggung seseorang bergerak menjauh hingga menghilang di pertigaan lorong. Ya. Aku baru saja membahas seseorang yang tak lain adalah sosok yang aku kagumi kurang lebih 4 tahun ini.

Aku tersenyum nanar pada diriku sendiri, membenci bagaimana kita yang saling mengenal menjadi begitu asing satu sama lain. Aku menunduk sebelum akhirnya Samantha datang dan meraih pundakku yang terasa begitu berat sejak pagi ini. Samantha adalah teman dekatku sejak sekolah menengah pertama. Ia adalah tangkainya bunga seruni dan aku adalah kelopak seruni, dia menopangku untuk hidup, sementara aku menjadi orang pertama yag memayunginya ketika hujan badai tiba. Samantha adalah satu-satunya orang yang mengenal aku dengan baik.

"Davin itu udah kayak langit ya bagi lo?" Aku tersenyum tipis, ia lebih dari apapun Samantha. Ia adalah matahari, bintang, bulan, kunang-kunang, ia lebih  indah dari semua itu.

"Lo gak capek kan jadi garis terdepannya Davin?"

Aku tertawa, "Garis terdepan bagaimana? Gue justru jadi titik nadir-nya tau!"

"Nggak ada yang salah sama yang namanya ha-lu-si-na-si."

Namanya Davin. Mahesa Davin Adijunior. Temen ku dari sekolah dasar sampai sekarang mungkin? Atau lebih tepatnya dia yang cuma menganggap diriku sebagai teman super aneh karena semenjak masuk SMA seratus persen aku mencoba menghindari dia, bukan tanpa alasan seperti mengapa Naraya mencintai Chandara  di novel 'Ini Kisah Kaisar' tapi karena bentuk pukulan bagi diriku sendiri biar aku itu sadar dan berhenti berharap banyak hal. Oleh karena itu, menjauh bukanlah hal yang salah bagiku. Tapi mungkin bagi Davin adalah hal yang salah?

Mengenai Davin, aku akan membawa sedikit kepingan masa lalu kami 4 tahun lalu. Cerita tentang bagaimana aku melihat sesuatu yang berbeda pada mata Davin.

Disini segala sesuatu yang aku tulis, baik dan buruknya, bahagia dan sedihnya. Semuanya layak diingat. Semuanya adalah bagian dari aku mengenal aku, aku mengenal dia, dan aku mengenal mereka. Aku, dia, dan mereka yang akan layak diingat.

Selamat datang pada tulisan kecil yang bertajuk warna-warni.




tertanda, flo

SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang