"Apa dia seseorang yang ga pernah minum bir sebelumnya?" Dengan tatapan curiga, Sean mulai bertanya.

"Kebetulan dia ga berasal dari sini, di tempatnya tinggal, minum bir bukan hal yang biasa." Nam Jin menjawab sekenanya. Setidaknya ia menemukan alasan yang cukup logis untuk pertanyaan itu. 

Sean hanya menaikkan sedikit alisnya setelah mendengar jawaban Nam Jin. Kemudian ia mengambil sekaleng bir, membukanya dan segera menenggak isinya sampai habis.

Pria itu meremas kaleng bir yang sudah kosong hingga menimbulkan bunyi. Ia menyenderkan tubuhnya di sofa, menatap Sea Jane yang sudah mulai terlihat kehilangan kesadaran karena sedari tadi, secara diam-diam gadis itu minum dengan brutal.

"Persetan dengan kehidupan ini, kenapa hari itu aku ga mati aja?"

Efek alkohol yang sudah mulai menguasai membuat Sea meracau tidak jelas. Gadis itu menundukkan kepalanya, wajahnya memerah. Lagi dan lagi ia terus bergumam, beberapa kalimat bisa dimengerti, namun sisanya hanya ia dan Tuhan yang tahu. Ini sudah kaleng ketujuh yang gadis itu tenggak.

"Dia meracau lagi, kamu tahu kan dia ga bisa minum."

Sean menatap kearah Jin, matanya seolah berbicara "kamu kan tahu dia ga toleran sama alkohol, tapi kamu masih ngajak dia buat minum". Jin yang ditatap seperti itu hanya bisa kembali menenggak minumannya, sambil sesekali memakan camilan yang ada di meja. Ia tersenyum dengan terpaksa, enggan menanggapi Sean yang mulai bicara serius. Inilah sisi pria itu yang menurut Jin 'tidak seru'.

"Hari ini kan hari perayaan, kamu ga perlu khawatir kayak gitu kak. Aku bakalan jagain Kak Sea dengan baik." Jin beralasan.

"Ngejaga dengan baik? Kamu bahkan biarin dia berdua sama orang yang baru aja dia kenal." Ucap Sean dengan ketus.

Tatapannya beralih ke Ethan, seperti mesin scanner, matanya bergerak dari atas kebawah, seolah tengah 'memberi nilai' untuk lawan bicaranya. Dua pria itu saling menatap dalam diam. Mata hitam legam keduanya seolah tengah berperang.

Walau suasananya sepi, tetap saja seperti ada gemuruh yang bergejolak disana. Jin yang menyaksikan itu hanya bisa bergidik ngeri, tidak ingin ikut campur karena sepertinya usahanya untuk mencairkan suasana terasa sia-sia.

"Aishh, udah udah."

Sea menggebrak meja, membuat tiga pria yang diam disana terkejut akan ulahnya. Mereka serempak menoleh, menatap Sea yang sudah benar-benar berada dibawah pengaruh alkohol. Gadis itu kehilangan kesadaran sedetik kemudian. Matanya terpejam, ia berhenti menggumam. 

Ethan hendak mengangkat tubuh Sea, ingin memindahkannya ke tempat yang lebih nyaman. Namun, ada tangan lain yang menepisnya ketika Ethan menyentuh bahu gadis itu.

Dengan ekspresi datar, ia hanya menatap Sean yang berpindah tempat. Menyaksikan pria yang baru saja menepis tangannya itu mensejajarkan dirinya dengan Sea. Mata Sean kembali beradu dengan mata hitam legam Ethan. Itu adalah isyarat untuk 'menyingkir'. Sean tidak suka orang lain menyentuh Sea. Entah apa sebabnya, ia hanya tidak menyukainya.

Perlahan Sean membawa tubuh Sea dalam gendongannya. Memindahkan gadis itu ke apartemennya sendiri. Ethan dan Nam Jin hanya diam dan saling memandang, menyaksikan secara perlahan siluet dua insan itu yang lenyap ditelan pintu. Tanpa suara, tanpa pamit.

Sean membuka pintu apartemen Sea, dengan kunci milik Sea tentunya. Pintu itu bisa diakses dengan dua cara, menggunakan password atau kunci manual. 

Pria itu tidak bisa membiarkan Sea terlalu lama di apartemen Jin dengan keadaan seperti itu. Sean Allegra hanya tidak ingin menyaksikan Sea berada disekeliling pria lain, tapi kenapa? Atau mungkin ia punya alasan lebih sederhana, hanya ingin memastikan Sea tidur tenang di kamar miliknya.

Mata Sea terpejam tenang kala Sean perlahan menaruh dirinya di tempat tidur. Pria itu masih menyaksikan dengan seksama pemandangan dihadapannya. Sulit diakui bahwa mungkin saja ia sangat merindukan Sea. Jika dikatakan menyesal, bukankah itu sudah terlalu terlambat? Dirinya pernah begitu menciptakan jarak antara keduanya. Rasanya egois saja jika kini ia kembali lagi setelah cukup lama pergi. 

Tangan kekar pria itu mengelus surai lembut Sea. Mengagumi keindahannya dalam diam. Hanya detak suara jarum jam yang memenuhi ruangan itu dan hembusan napas berat milih Sean. Tak selang berapa lama, pintu kamar Sea terbuka. Memperlihatkan siluet jangkung seorang pria.

"Apa yang kamu lakuin? Menyelinap di kamar wanita malam-malam gini?" Suara berat dan tegas milik Sean terasa menginterogasi.

"Apa Sea ngasih tau password apartemennya?" Makin menaruh curiga pada hubungan keduanya, Sean Allegra berjalan mendekati Ethan.

Sejauh mana? Hubungan macam apa? Mengapa begitu mudah bagi Sea percaya pada orang yang baru saja dikenalnnya? Berbagai pertanyaan bergejolak dalam pikiran Sean.

"Kamu sendiri gimana? Bukannya seharusnya kamu keluar dan pulang? Kamu juga kan seorang pria." Tak kalah cetus, lawan bicaranya menjawab dengan suara rendah, tanpa ekspresi apapun tentunya.

"Siapa nama kamu tadi? Ethan ya? Gimana kamu bisa masuk? Tau password pintu apartemen ini?" Sean memicingkan matanya, mulai mengorek informasi tentang pria itu.

"Bukan urusanmu." Ethan menjawab dengan ekspresi wajah yang masih sama.

"Apa yang mau kau lakuin? Pergi sana, biarin Sea istirahat." Sean semakin mengikis jarak anatara dirinya dan Ethan, "Apakah kamu ngerasa sedekat itu sama dia sampai kamu sendiri harus datang dan ngecek kondisinya?"

"Apa kamu khawatir?" Mata Ethan menatap tajam kearah Sean, "berhenti jadi pengecut dan jangan ngalangin orang lain, kalau kamu lamban, itu salahmu." Ethan melanjutkan kalimatnya, tatapannya masih enggan berpaling dari Sean yang kini memasang ekspresi cukup terkejut. 

"Ngomong apa sih?" Sean semakin memotong jarak antara dirinya dengan Ethan, hingga hanya tersisa beberapa senti, mencoba mengontrol raut wajahnya yang mungkin saja sudah memerah karena emosi sekarang "hentikan omong kosongmu dan pergilah."

"tsk..." Ethan hanya berdecak ringan kemudian menyeringai. Menatap Sean tajam dan kemudian berbalik arah. Sosoknya telah lenyap menghilang dibalik pintu.

Sean menghela napas panjang. Mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa Ethan bersikap seperti itu? Seistimewa apa hubungan antara dirinya dengan Sea sehingga ia merasa mampu menggantikan Sean yang sudah bertahun-tahun mengenal Sea?

Mungkin saja setelah ini pria itu tidak bisa berpikir jernih lagi. Bagaimanapun, nasi telah menjadi bubur. Hanya menyesalinya tanpa berbuat apapun juga bukan hal yang patut dilakukan. Tapi bagaimana caranya agar ia dan Sea bisa kembali seperti dulu? 

Pria itu, sekali lagi memandang kearah Sea sebelum benar-benar meninggalkannya. Cukup lama. Hingga sebuah kata terucap dari bibirnya.

"Maafkan aku, Sea."

Sean menutup pintu dan berjalan keluar. Langkah yang dipenuhi oleh penyesalan itu, membawanya menjauh. 




_______________________________________________

[ON GOING] ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang