"Oh," aku balik memandangnya ironis. "Bukankah kau yang membohongiku? Bukankah kau yang selama ini menyembunyikan kebenaran mengenai kecelakaan orang tuaku?" aku barusaha mengontrol emosiku ketika mengatakannya. Tapi aku tidak bisa. Ingatan mengenai dia yang menabrak orang tuaku hingga meninggal kembali terbayang. Ingatan tentang ia yang selama ini menyembunyikan hal itu, padahal Zayn sudah mengetahui penyebab orang tuaku meninggal.

Tanpa sadar, pipiku sudah mulai basah. Penglihatanku terasa mengabur seiring air mata yang kembali menyeruak keluar.

Zayn membuka mulutnya, terlihat hendak berbicara. Tapi ia kembali mengatupkannya dan memandangku seolah ia tidak tahu harus berkata mulai dari mana. Kudengar helaan nafas panjangnya lagi kemudia ia mengangkat kedua telapak tangannya pada rambut, sedikit meremasnya kesal.

"Perlu penjelasan panjang. Aku tidak tahu harus mulai darimana. Tapi, percayalah, Clarisse. Aku akan menjelaskannya ketika kau sudah bersamaku lagi. Maafkan aku. Tolong hentikan balap ini, aku tidak mau kau terluka. Area ini terlalu berbahaya."

Perkataannya membuat pendirianku semakin melemah. Aku tidak suka ketika ia memohon sesuatu. Aku tidak suka karena aku takkan mampu menolaknya. Aku tahu, Zayn bisa sangat persuasif jika ia mau. Itulah mengapa aku bisa jatuh padanya dengan sangat mudah. Tapi, ini lain. Suaranya benar-benar terdengar tulus. Membuatku kembali ingin menangis.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskan aku memberinya kesempatan?

"Aku-"

Suaraku terpotong begitu pengeras suara meneriakan kalimat perintah pada peserta untuk mulai bersiap-siap karena waktu tinggal beberapa menit lagi. Aku tersentak lalu memandang Zayn dengan kalut. Bagaimana ini? Apakah aku masih bisa membatalkannya? Aku bahkan tidak sempat mendengar peraturan dari wanita mengesalkan itu ketika pendaftaran tadi. Tapi, setahuku semua peserta tidak bisa membatalkan ini ketika sudah mendaftar dan tercatat namanya di sana.

"Aku harus pergi," ungkapku cepat. "Aku akan baik-baik saja. Nanti kita bicara lagi."

Aku hendak membalikan badanku ketika Zayn kembali menghentikanku. "Tidak bisa, kau bahkan tidak bisa mendaftar lagi. Daftar peserta sudah penuh. Aku sendiri yang menempatkan Louis pada kolom terakhir pendaftaran sehingga kau tidak bisa ikut."

"Tapi aku sendiri yang mendapat kertas itu, Zayn. Aku terdaftar." balasku panik.

Semua orang sudah mulai menempatkan dirinya pada mobil. Aku mendengar perempuan yang hendak mengawali balap sudah memanggil-manggil namaku menggunakan pengeras suara.

Sialan.

"Fuck," Zayn mengumpat kesal. "Bagaimana bisa? Balap ini tidak bisa dibatalkan! Si tua bangka sialan itu membuat peratuaran sialan dengan cara menggunakan cap jari peserta. Kalau ada peserta yang membatalkan balap ini ia akan memanfaatkan cap jari itu lalu diletakan pada sebuah kontrak bodoh."

"Aku tidak melakukan cap jari," balasku lugu.

"Bukan cap jari yang itu, Clarisse," balas Zayn dengan gemas. "Kertas itu, kau pasti memegangnya, bukan? Nah di situ sudah tertera cap jarimu. Kau lihat orang-orang yang memberikan dan menerima kertas itu? Mereka menggunakan sarung tangan."

Aku membuka mulutku namun sepertinya tidak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Suara di belakangku sudah semakin ramai dengan derungan mobil. Perasaan panik mulai menyerang diriku. Apa yang dikatakan Zayn tadi? Kontrak?

"Apa isi kontraknya?"

"Tergantung. Dia baru membuat kontraknya setelah ada pemain yang membatalkan balap. Charlie terlalu licik. Dia membuat kontrak sesuai keadaan si peserta sehingga orang itu tidak dapat mengelaknya."

Protect You || Malik [au]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang