PART 35

2.8K 473 32
                                    

"Pa, aku--"

"Pram, kamu berangkat bareng Papa."

Pram yang hendak melewati ruang makan, menghentikan langkahnya.

"Sini, sarapan dulu," panggil Erik.

Tidak punya pilihan lain. Pram menghela napas dan menurut; memasuki ruang makan. Duduk di sana. Alya dan Dante tidak berkomentar ataupun meliriknya. Hanya Jhona yang melirik, menampakkan satu sudut bibirnya yang sedikit terangkat. Mengejek lebam di wajah Pram yang masih terlihat, kah?... Cih.

Pram mengambil selembar roti. Sebenarnya dia sudah memakan roti di kamarnya, tapi akan canggung bila hanya diam; menunggu Erik selesai sarapan. Mau main handphone... di rumah ini tidak pernah terlihat ada yang main handphone di meja makan.

Setelah Erik selesai dengan sarapannya. Dante sudah terlebih dulu pamitan. Pram bangkit, menunggu Erik yang sedang berpamitan pada Alya.

"Ayok," ajak Erik.

Pram melangkah mengikuti. "Aku berangkat sendiri aja, Pa," katanya setelah keluar dari ruang makan.

"Nggak, kamu berangkat bareng Papa."

Pram menghela napas panjang. Motornya tidak ada kerusakkan karena jatuh kemarin, hanya sedikit goresan dan retak.

-

Tidak banyak obrolan antara mereka di sepanjang perjalanan. Erik hanya memperingatkan Pram untuk tidak berkelahi lagi. Diiyakan oleh Pram dan obrolan selesai.

Karena sekarang teman-temannya sudah tahu tentang hubungan dia dan Dante, Pram tidak protes saat Erik menurunkannya di dekat gerbang sekolah. Dia turun dari mobil, berjalan memasuki gerbang besar itu.

Entah perasaannya saja atau memang... ya, Pram merasa beberapa mata anak kelas tiga yang berpapasan dengannya, meliriknya dengan sudut mata yang runcing. Mungkin siswa-siswa yang kemarin dibawa Demon ke toilet, yang Pram lupa wajahnya.

-

Di dalam kelas, Pram sibuk dengan handphone. Dia baru saja mengunduh game dan mencoba memainkannya, tapi tidak menyenangkan. Pram tidak suka bermain game. Dia sedang memikirkan cara untuk menghentikan Dante, tapi belum terpikir apa-apa. Langkah Dante selalu tidak tertebak, sekarang dia terlihat masih diam, tapi nanti tiba-tiba dia sudah bergerak tanpa sepengetahuan Pram. Pram harus meningkatkan kewaspadaannya.

Selama jam istirahat, Dante ada di kelas, makanya Pram juga tidak beranjak dari kelas. Ya... walau sebenarnya bukan hanya karena Dante. Karena dia juga sedang bermasalah dengan teman-temannya. Alex dan Miki sudah meninggalkan kelas sejak bel berbunyi. Dari awal masuk, mereka hanya melirik Pram sekali, itu pun sekilas.

Pram kemudian menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan. Penat. Game yang coba dia mainkan hanya membuatnya sakit kepala.

-

Bel pulang berbunyi.

"Deki minta kunci basecamp."

Miki berdiri di samping meja, meminta dengan suara datar dan telapak tangan terbuka di hadapan Pram. Terlihat terpaksa menghampiri dan berbicara padanya.

Pram mendongak, melirik sekilas. Lalu mengambil kunci rumah itu yang mengait pada kunci motornya, memberikan pada Miki tanpa berkata apa-apa.

Miki juga langsung pergi tanpa mengeluarkan suara lagi. Alex melirik Pram sekilas lalu mengikuti langkah Miki yang melewatinya.

Pram menghela napas, bangkit, menyampirkan tas. Lalu berjalan keluar kelas untuk pulang.

-

Sejak pulang sekolah, dia hanya tidur. Sampai langit menggelap, matanya masih enggan untuk terbuka, sekalipun sebenarnya dia sudah bangun.

Pram membuka matanya. Melamun dalam posisi masih berbaring. Pintu kamarnya terbuka. Bibi yang masuk, menyimpan nampan di atas nakas, lalu melangkah ke arah saklar lampu.

"Jangan dinyalain, Bi," henti Pram.

Bibi menarik kembali tangannya yang akan menyalakan lampu. Lalu dia tampak membuka mulut, berbicara. Pram menyipitkan mata, menatap gerakkan mulut di tengah gelap, yang jelas tak akan terbaca.

"Nanti aku makan," dia hanya menyahut sekenanya.

Bibi mengangguk kemudian keluar dari kamar, menutup pintu pelan.

--

Langit sudah terang. Pram membuka mata, mengambil alat untuk telinganya. Membiarkan alat itu membuatnya kembali mendengar suara-suara, setelah sejak pulang sekolah kemarin, Pram hanya menikmati hening. Saat makan malam di tengah gelap pun, dia tidak memakai alat itu.

Pintu yang terbuka; kini suara deritnya terdengar. Asisten rumah tangga lagi, yang tampak masuk, membawa nampan yang pasti berisi sarapan.

"Papa ke mana, Bi?" tanya Pram. Biasanya Erik yang terlebih dulu masuk ke kamarnya untuk membangunkan.

"Kan keluar kota, Mas. Dari kemaren."

"Oh." Pram mengangguk. Pasti di tengah gelap semalam, Bibi memberitahukan itu.

Nampan bekas makan malam di atas nakas, ditukar dengan yang baru.

"Mas Pram, makan malemnya kok gak diabisin?"

"Keburu kenyang, Bi."

"Bapak gak suka lho kalo ada makanan nyisa."

"Papa kan lagi gak ada."

"Tapi sarapannya diabisin, ya. Bibi cuma bikin roti, tapi kalo Mas Pram mau yang lain, biar Bibi bikinin sekarang."

"Nggak, Bi, itu aja, makasih."

Bibi tersenyum. "Kalo mau apa-apa panggil Bibi, ya," katanya ramah.

Pram mengangguk. Asisten rumah tangga Alya itu kemudian keluar.

Biasanya di hari Sabtu dan Minggu, Pram selalu punya tujuan untuk menghabiskan hari; bersenang-senang di basecamp dengan teman-temannya. Tapi Sabtu ini, Pram bingung harus menghabiskan hari dengan melakukan apa, mana besok masih ada hari Minggu; yang juga akan menjadi hari libur yang membosankan. Mau tidur seharian? Dari kemarin Pram tidur. Main ke rumah teman-temannya dulu? Ah, Pram merasa bersalah karena hanya mengingat mereka di saat sedang ada masalah.

Mungkin tidur seharian lebih baik.

-

PUNK (Selesai) Où les histoires vivent. Découvrez maintenant