PART 19

2.7K 437 25
                                    

"Wei... ke mana lo kemaren?"

Pram melirik Miki dan Alex yang baru tiba di kelas, bersamaan.

"Sakit gue."

"Bo'ong lu."

"Mik, ini gue masih jaketan, masih anget nih jidat gue."

Alex memegang kening Pram. "Beneran, Mik."

Miki tertawa. "Percaya gue, Pang. Ambekan banget lo."

"Eh, jaket lo di gue, Pang. Ada di loker," kata Alex.

"Simpen dulu aja."

"Duit lo juga di gue, Pang, dua ratus, bayar bengkel waktu itu. Simpen dulu aja juga, ya?"

"Kagak! Yang itu balikin sekarang."

"Ah, elah, gue lagi miskin juga, gara-gara pemboikotan jasa dekeng Bos Deki."

"Sama, Lex. Aduhh... dompet gue ringan banget, apalagi nih hari," Miki menambahkan keluhan. Mereka merindukan jasa dekengnya Bos Deki.

-

Di waktu istirahat, Pram mendapat layanan pijat kepala oleh Cipong. Tangan bulat Cipong memang paling enak kalau udah mijitin.

"Lo gegayaan, Pang, masuk sekolah. Biasanya juga sakit dikit, lo bolos ke basecamp," celoteh Cipong yang duduk di atas meja, sementara Pram di bawahnya, duduk di kursi, menikmati pijatan.

Di dalam gedung kosong, anggota geng Deki sedang sibuk masing-masing. Demon belum masuk. Pram merasa jahat, diarenya mungkin agak sedikit parah, tapi dia tetap bersyukur, untung parah.

"Ah, enak banget, Bang."

Cipong memijat dari kening, memijat lurus ke atas kepala. Dengan mata terpejam, Pram sangat menikmatinya.

"Kaku banget dah leher lo. Punggung lo diem." Tangan Cipong beralih ke tengkuk Pram.

"Sakit, Bang, anjir... Bang! Jangan di situ!"

"Diem!"

"Bang, jangan macem-macem."

"Nenek gue suka pijet, gue dapet ilmunya, gak bakal patah leher lo."

"Iya, tapi sakit. Pelan-pelan, pake perasaan."

"Pelintir aja, Bang!"

"Diem lo, Mik!"

"Pang, baru beberapa hari gak baku hantam, badan lo sakit-sakit, ya?" Alvi bertanya. "Sama, Pang. Gue juga pegel-pegel."

Lagi-lagi, efek pemberhentian jasa dekeng Bos Deki. Entah kapan beroperasi lagi bisnis bosnya itu. Tubuh dan kantong para karyawan jasa, mulai kena dampaknya, nih.

-

Dari pulang sekolah, Pram tidur nyenyak di basecamp dengan Nunu di sampingnya. Dia menggeliat dan menutup mata lagi, Deki ada di depan televisi dan yang lain entah di mana, tidur di luar mungkin. Suasana basecamp senyap, nyaman dipakai tidur.

"BERHASIILLL!!!"

Mata Pram langsung terbuka, refleks melotot. Demon baru masuk dan langsung berteriak dengan raut wajah sumringah. Anjir! Kok tuh makhluk satu sehat.

"Lah, Mon, lo sembuh? Kirain gue masih mencret-mencret." Nunu juga terbangun. "Lo udah berhasil???" Matanya langsung terbuka lebar.

"YAA!!! Gue udah kasih pelajaran sama si tukang cepu! Puas banget gue, ya walaupun, paling cuma patah tulang doang, gak lebih dari itu."

Nunu terdengar mendesah pelan. Pram mendecak samar, harusnya kemarin dia tuangkan obat pencahar itu satu botol.

Rey, Vanesh, dan Alvi yang ikut dengan Demon, baru masuk, tak bersuara. Raut wajah mereka cemas, berbanding terbalik dengan Demon yang tampak sedang berbahagia.

Deki juga bungkam. Sepertinya hanya Demon yang terlihat kegirangan di sini.

"Terus gimana kalo Jhona balas dendam?" Miki duduk gelisah di ambang pintu. Dia sedang tiduran dengan damai dan tenang di teras, sebelum Demon datang, merampas ketenangan.

Demon meliriknya, mulutnya kini mengapit rokok. "Si Dante gak akan ngenalin. Tadi kita-kita pake masker terus kepala ditutup hoodie," sahutnya, "tenang aja, Mik, aman," tambahnya. Lalu dia menyulut rokoknya dengan santai.

Miki tetap mendesah, tidak bisa merasakan tenang.

"Lo semua ngegebukin dia?" Deki baru bersuara.

"Gue cuma tonjok dua kali, Rey sekali. Sisanya; Alvi sama Vanesh, cuma jaga sekitar. Tapi sebelum tonjok, gue bikin dia jatoh dulu dari motor, sedikit gelinding ke bawah, yang kebon itu lho, Dek. Terus kita buru-buru cabut, takut ada yang liat."

"Asal gak lo matiin aja dah," kata Deki.

"Ya, nggak lah, untung aja gue lagi sadar."

Lalu Alex datang. Dia hanya bertugas jadi informan yang mata-matain kepulangan Dante.

"Mendadak banget sih, Bang. Gue udah mau sampe basecamp tadi. Langsung puter balik ke sekolah lagi," gerutu Alex.

Demon terkekeh. "Maaf, Lex. Habisnya kalo direncanain suka gak jadi. Gue teleponin dulu Rey, Vanesh, sama Alvi dulu tadi, jadi lo terakhir."

"Berhasil lo hajar Dante?" tanya Alex.

"Ya, iyalah. Mungkin tuh anak gak akan sekolah beberapa hari ke depan. Sekolah pun pasti kaki atau tangannya digips."

"Woah, lo patahin?"

"Patah sendiri. Gue cuma tendang motornya doang dari pinggir."

"Gila lo, Bang. Gue gak mau tar nama gue kebawa-bawa, diaduin ke abangnya dia."

"Kagak akan, Lex. Aman." Demon percaya diri.

Pram sedikit lega karena Demon tidak menghabisi Dante, soalnya orang itu agak gila, Pram lihat. Tapi, masalahnya sekarang ada di Jhona. Apa benar mereka akan aman?

Argh! Pram menyesal. Dia kurang jahat kemarin. Kenapa tidak memasukkan obat pencahar itu satu botol atau dua botol kalau perlu.

Pram mendengkus pelan. Sepertinya, Nunu mendengar, kakak kelasnya itu meliriknya dan mengangkat bahu dengan sudut bibir terangkat; mengajak untuk pasrah, sudahlah, hadapi saja.

--

PUNK (Selesai) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt