^Gema Damares^

51 36 51
                                        

"Kamu bisa nggak kalo nggak usah bantah?" pertanyaan bernada ketus itu keluar dari mulut seorang lelaki dengan pandangan tajam mengarah ke lawan bicara.

"Tapi-"

Belum sempat terselesaikan, ucapan Fay langsung disambar begitu saja. "Nggak perlu pakai tapi. Aku sama sekali nggak butuh bantahan."

Fay lagi dan lagi pada akhirnya hanya bisa menurut. Jika sudah berhadapan dengan lelaki itu Fay seakan hilang keberanian untuk melawan lebih jauh. Kali ini hati dan logika Fay tidak selaras membuatnya tidak tahu harus berbuat apa selain patuh.

"Iya, Gema. Nanti Fay ikut," sahut Fay setelah cukup lama berpikir.

Orang yang Fay panggil dengan panggilan Gema tadi menyunggingkan senyum kemenangan. Bagi Gema bukan hal sulit untuk menaklukan seseorang. Ia akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan. Tidak peduli hal itu menyakitkan atau tidak untuk orang lain. Keinginan Gema hanya satu, meraih semuanya sekalipun harus menyingkirkan semua penghalang.

"Bagus. Itu baru ceweknya Gema," ujar Gema bersamaan dengan tangan yang terapung mengusap pelan puncak kepala Fay. "Aku udah jauh-jauh dari sekolah biar bisa ketemu kamu. Jadi nggak boleh bantah apa yang aku mau. Lagipula aku cuma minta kamu buat ketemu keluarga. Bukan minta macem-macem."

"Kenapa Gema harus capek-capek ke sini? Gema punya nomer Fay. Jadi lain kali biar nggak kejauhan sama buang waktu Gema bisa bilang lewat chat atau telpon." Fay menyahut dengan suara pelan.

Jika tahu akan seperti ini sungguhn Fay tidak akan keberatan bila tidak bertemu dengan Gema. Fay sama sekali tidak meminta Gema untuk menemuinya di sekolah. Mengingat mereka memang bersekolah di tempat yang berbeda. Bukan kali pertama lelaki itu menemui Fay saat jam istirahat seperti saat ini. Tentu butuh waktu lebih untuk bertemu tatap muka. Namun, tetap saja Gema adalah Gema. Sangat sulit dibantah dan diberi masukan.

"Mau mulai bantah lagi?" pertanyaan tersebut terucap tanpa ekspresi.

Fay terpaku. Seakan terjebak dalam lubang yang dia masuki sendiri. Bahkan Fay sendiri tidak tahu perasaannya untuk Gema bagaimana. Apakah masih pantas disebut cinta jika tidak bisa membuat bahagia? Yang ada di benak Fay hanya perjanjian menyebalkan yang terjalin antara dirinya dan Gema beberapa tahun lalu. Sebuah perjanjian yang telah mengubah sudut pandang Fay akan apa yang dinamakan cinta. Namun, Fay tidak mau memungkiri jika dia berharap Gema bersedia dan berubah menjadi lebih baik.

"Gema masih sayang nggak sih sama Fay?" Bukannya menjawab, Fay malah balik bertanya.

Gema terkekeh. Pertanyaan yang Fay beri barusan bagaikan sebuah lelucon ringan yang tidak perlu dipertanyakan.

"Kalo bukan karena sayang buat apa aku berusaha buat bikin kamu tetep ada sama aku? Buat apa aku minta kenalan sama keluarga. Apa nggak ada pertanyaan yang lebih penting buat aku jawab?" Gema menyahut dengan ringan.

Fay menarik napas dalam. Tatapan yang semula menunduk kini Fay arahkan tepat pada sepasang mata milik Gema yang juga tengah memandang padanya. Tampak sekali jika gadis tersebut sedang berusaha keras untuk mengalahkan ketakutan.

Fay sendiri tidak tahu mengapa perasaan takut itu hadir secara begitu saja. Dulu saat pertama kenal dan dekat dengan Gema, yang Fay rasakan hanya nyaman dan senang. Namun, jauh di luar dugaan sikap Gema yang kerap kali bertingkah seenaknya dan sulit untuk diberi tahu lambat laun membuat Fay merasa takut.

"Ini bukan soal pertanyaan penting atau nggak. Mungkin buat Gema ini nggak penting buat dibahas, tapi buat Fay ini penting." Fay memberi jeda beberapa saat. "Maaf kalo apa yang Fay bilang ini bikin Gema marah. Tapi apa yang kata Gema kira nggak penting ternyata sering banget ganggu pikiran. Nggak jarang Fay tanya sama diri sendiri sebenernya Fay itu sepenting apa buat gema. Iya ngerti semua yang Gema lakuin memang terkesan nggak mau kehilangan, tapi terkadang sikap Gema sendiri yang bikin Fay ingin pergi."

Untuk kali ini Gema tidak berhasil menutupi perubahan raut wajah. Mimik yang semula santai berganti dengan keterkejutan. Lelaki itu jelas tidak menyangka jika gadis yang selalu bisa ia kendalikan berbicara seperti barusan.

Bel masuk berbunyi dengan lantang sebagai pertanda jika pertemuan mereka harus usai. Fay dengan cepat bangkit berdiri. Berbeda dengan Gema yang masih setia di tempat semula. Sebenarnya Gema harus pergi sedari tadi karena membutuhkan waktu lebih banyak untuk kembali tiba di sekolah.

"Karena udah nggak ada yang harus dibahas lagi, Fay masuk kelas dulu. Gema lebih baik cepetan balik ke sekolah. Biar nggak semakin terlambat," kata Fay diakhiri oleh senyuman kecil.

Gema menahan tangan Fay yang baru saja akan melenggang pergi. Bergerak bangkit berdiri lalu tanpa membuang waktu langsung membawa gadis berambut panjang dengan aroma vanilla itu kedalam pelukannya.

"Maaf, Fay," ujar Gema dengan suara lebih lembut. "Jujur kadang aku nggak tau harus kayak gimana. Takut banget kalo harus kehilangan satu satunya orang yang disayang. Aku cuma punya kamu. Cuma kamu rumah yang aku punya. Segitu berartinya buat aku, Fay. Sorry kalo sikap aku malah bikin nggak nyaman, tapi sama sekali nggak punya niatan bikin kamu sakit. Gimana bisa mau bikin orang yang paling aku sayang sakit?" jawab Gema berusaha menyampaikan sebaik mungkin.

Satu tetes air mata meluncur tanpa dapat dicegah. Fay kembali menatap sepasang mata milik Gema. Tidak ditemukan sedikit pun kebohongan. Gema tampak sangat jujur dan tulus mengatakan kalimat itu.

"Fay kangen Gema yang gini," tuturnya. "Fay kangen Gema yang lembut, Gema yang baik, Gema yang nggak egois. Kalo Fay minta Gema kayak dulu lagi apa bisa?"

Tanpa banyak pertimbangan Gema langsung mengangguk. Memberi usapan singkat pada rambut Fay kemudian berujar, "bakalan aku coba jadi yang terbaik buat orang yang paling penting."

Tidak jauh dari tempat Gema dan Fay berdiri seorang lelaki yang menyembunyikan diri di balik tembok. Niat awal menyusul Fay karena bel masuk sudah berbunyi menjadi urung dilakukan karena tidak mau banyak menganggu. Dengan cepat lelaki itu beranjak meninggalkan keduanya.

"Kai!"

Iya, ia adalah Kai. Lelaki yang berusaha menjalankan perannya sebaik mungkin. Sosok yang selalu berusaha menjaga Fay dengan berbagai cara sekalipun Kai lakukan dari kejauhan. Kai memang tidak memiliki banyak hak untuk berbuat sesuatu. Seperti biasa, Kai tahu diri dan hanya bisa kembali ke posisi semula. Menjadi orang yang baik untuk sahabat kecilnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri hati Kai menolak jika Fay memilih untuk kembali memberikan Gema kesempatan. Kai hanya tidak ingin jika Fay akan disakiti lagi.

Mendengar namanya disebut mau tidak mau Kai dengan cepat membalikkan tubuh. Jika ia bisa lebih cepat pergi dari sana mungkin tidak harus menghadapi situasi ini.

"Mau kemana?" tanya Fay setelah sampai di depan Kai diikuti oleh Gema.

"Mau ke parkiran. Ada barang yang ketinggalan," sahut Kai mencari alasan lain.

Gema berdehem. "Sorry gue sela. Sebenernya gue sedikit nggak suka lo deket sama cewek gue, tapi karena gue nggak bisa jaga dia selama di sekolah jadi gue minta bantuan lo buat pastiin dia baik-baik aja."

Kai mengangkat sebelah sudut bibirnya kemudian terkekeh ringan terkesan meremehkan. "Gue bukan bocah. Tenang aja. Gue bakalan lakuin itu tanpa harus lo perintah. Dan gue jaga Fay bukan karena lo suruh, tapi karena gue beneran sayang dia. Gue bukan orang yang bisa lo atur seenak jidat lo Gema Damares."


~999~

TBC

Allo pren ^^

Gimana sama Gema? Pantes gasi menurut kalian kalo Fay kasi Gema kesempatan lagi?


Sorry for typo

Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote and comments ^^

Sumber: pinterest   Edit foto: meamelq


Salam hangat,

Meamelq

When You Need MeOù les histoires vivent. Découvrez maintenant