o n e | be afraid

11 3 0
                                        

HARI ini hari Senin. Yang pastinya adalah hari upacara bendera. Aku memutuskan untuk cepat-cepat datang kesekolah. Dengan mengandalkan sepeda butut peninggalan nenek, aku mengayuh kanan dan kiri menyusuri sejuknya udara pagi ini. Tadi subuh aku sudah membuat kue untuk dititip kekantin sekolahku. Dan aku berharap hasil penjualannya bisa kutabung untuk membeli sepeda baru yang layak. Walau kadang, aku hanya bisa menitikkan air mataku saat kue-kueku tak habis terjual.

Perkenalkan, aku Salma. Salma Rajendra. Hari-hariku kuhabiskan untuk bekerja. Entah itu mencuci piring ditoko dekat rumahku, mencucikan mobil tetanggaku yang hanya digaji lima ribu rupiah, ataupun mencuci baju kotor milik keluarga berada. Aku lakukan semua itu untukku bertahan hidup.

Semenjak nenek meninggal dua tahun lalu, aku hidup sebatang kara. Dalam rumah kumuh yang sangat kecil,aku tetap nyaman dan bersyukur pada Tuhan yang masih memberiku tempat tinggal. Orang tuaku .. Tidak-tidak .. Dulu kata nenek, mereka sudah meninggal semenjak aku lahir karena kecelakaan. Namun setelah mendengar tetanggaku yang cukup dekat dengan nenek berbicara bahwa orangtuaku belum meninggal dan masih hidup, aku bertekad untuk mencari mereka.

Entah kapan aku dipertemukan dengan keduanya, aku berharap Tuhan masih memberiku dan kedua orangtuaku kesehatan, agar kami bisa dipertemukan.

Sampai diparkiran sekolah, aku beranjak kebelakang sekolah. Tepatnya disini semua stand-stand makanan berada. Selama satu tahun bersekolah disekolah favorit ini, aku belum pernah sama sekali mencicipi makanannya. Tentu karena uang hasil jualanku kutabung. Daripada mengeyangkan perutku dengan makanan yang enak-enak, lebih baik aku tabung sedikit-demi sedikit untuk menunjang kehidupanku kedepannya sampai aku bertemu dengan ayah dan ibuku.

Aku juga lebih sering membawa bekal sendiri dari rumah. Walau hanya nasi dan telur ceplok setiap harinya. Aku tersenyum pada Bu Ratih. Wanita paruh baya itu sudah tua dan masih berjualan makanan seperti ini. Beliau yang selalu membantuku saat aku telat membayar uang sekolah. Dia juga yang dengan rendah hati menawarkan jika aku bisa berjualan diwarungnya. Aku tentu sangat menyayanginya. Sama seperti ibu yang belum pernah kulihat wajahnya, aku memperlakukan Bu Ratih seperti ibu kandungku. Dia juga tak keberatan dan malah dia yang menawarkan untuk memanggilnya dengan sebutan ibu karena dia juga tidak punya anak dan suaminya meninggal sudah lama.

"Bu, ini kuenya" ucapku meletakkan tupper ware yang berisi kue-kue itu. Bu Ratih balas tersenyum. Memperlihatkan kulit wajahnya yang semakin hari semakin keriput.

"Lima puluh biji kan nak?"

Aku mengangguk senang dan mulai membantunya membersihkan meja kantin yang sedikit kotor. Seperti inilah kegiatanku setiap hari. Aku membantu Bu Ratih sebelum bel masuk berbunyi. Walau kadang ia melarang karena katanya aku harus cepat-cepat masuk kelas karena nanti dihukum, aku tetap bersikeras untuk membantunya walaupun hanya pekerjaan-pekerjaan ringan seperti ini, aku tetap senang.

Setelah semuanya selesai, aku berpamitan pada Bu Ratih untuk izin kekelas karena bel masuk sudah berbunyi. Sampai dikelas, sudah banyak murid-murid yang datang. Karena aku duduk paling belakang, aku dengan langkah cepat menuju kebangkuku berada. Namun ditengah-tengah melangkah, seseorang menjulurkan kakinya dibawah meja yang membuatku mau tak mau tersandung dan terjatuh kelantai dengan cukup keras.

"Auh .. Shh"aku merintih kesakitan saat kulihat darah mengalir dari lututku. Aku mendongak, dan kulihat Nisa dan sepergengannya tengah menertawakanku. Aku berusaha untuk bangkit berdiri, namun lagi-lagi aku disenggol. Pelakunya Mira, satu geng dengan Nisa. Aku tetap berusaha menahan air mataku yang hendak jatuh, walau nyeri dilututku semakin menjadi-jadi.

"heh miskin?! Kerjain tugas gue cepet! " Mira menjambak rambutku kuat hingga aku oleng kebelakang, seraya menyodorkan buku tugasnya dihadapanku. Setelah melepaskan jambakannya, aku mengangguk dan menunduk, dan kembali berjalan kearah bangkuku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kulihat, lagi-lagi mereka tertawa seraya berbisik-bisik memandangku. Satu kelas menertawakanku. Namun tunggu--disana--murid baru yang baru saja dua hari bergabung dikelas ini tidak tertawa dan hanya memandangku datar. Aku mengernyit, namun segera memutuskan pandangan saat guru yang akan mengajar melangkah masuk kekelas.

• D I V I N E__ D E C R E E, FA T E •Where stories live. Discover now