28

96 11 0
                                    

Setelah membersihkan kaki dan wajah Moe, Rain membiarkan Moe mengitari kamarnya. Rain merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia merasa sedikit lega karena melakukan hal itu. Walaupun ia tahu tindakannya itu sangat tidak manusiawi.

Dan lagi ini pertama kalinya ia menunjukkan taringnya setelah sekian lama.“Sepertinya aku sedikit berlebihan,bukan begitu Moe?”

“Moe?” ulang Rain. Ia merasa heran karena Moe tidak menggeram ke arahnya.

Rain mendudukkan dirinya sembari menatap ke sekeliling. Ia mengembuskan napas lega saat mendapati Moe duduk di atas perutnya di balkon.

“Moe, apa yang sedang kau lakukan di sana? Masuklah Moe di luar dingin,”

Rain mengerutkan kening kebingungan.
Tidak biasanya Moe mengabaikannya.
Ia lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju balkon.

“Apa yang kau lihat Moe?” Rain berjalan mendekat ke pembatas balkon. Di bawahnya terlihat beberapa pelayan berkumpul dan bergosip. Karena kamarnya terletak di lantai dua ia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

Ia mengamati mereka sangat lama. Hingga tukang kebun tanpa sengaja menegadah dan melihat ke arahnya. Tukang kebun itu membungkuk hormat lalu buru-buru memberi tahu pelayan yang lain lalu berjalan pergi dan melakukan tugasnya.

“Aku penasaran apa yang sebenarnya mereka bicarakan.” Rain mendesah ia mendudukkan dirinya pada pembatas balkon seraya tersenyum ke arah Moe yang berada tepat di bawahnya.

“Moe apa kau lapar? Haruskah aku meminta pelayan untuk membawakanmu makanan?” Rain turun lalu berjalan masuk ke kamarnya dan membunyikan lonceng.

Hari-hari berlalu dengan begitu cepat.
Hingga tanpa sadar hari ini adalah hari pertunangannya. Bagaimana pun juga pertunangan ini terjadi tanpa dasar cinta.

Lagi pula cinta itu apa?
Ia bahkan tidak mengerti hal itu dengan baik. Bagaimanapun semuanya tampak abu-abu untuknya.

“Nona, sudah tiba waktunya,”

Rain mengembuskan napas panjang. Ia berharap hal yang terjadi hari ini berlalu dengan cepat. Ia menggunakan gaun berwarna biru pucat yang di padu dengan warna putih.

Rambut peraknya di sanggul ke atas.Menampakkan leher jenjangnya. Ia melangkah dengan anggun dan berjalan memasuki aula utama tempat acara pertunangannya di selenggarakan.

Banyak pasang mata menatapnya dengan tatapan terpesona. Bahkan para lady yang hadir sebagai tamu berbisik-bisik memujinya. Rain berjalan menuju Azkier yang berdiri dengan pakaian yang senada dengannya.

Azkier mengulurkan tangan dan Rain menyambutnya. Banyak pasang mata yang memuji mereka namun tidak sedikit juga yang memakinya. Acara pertunangan berlangsung dengan lancar. Dan di lanjutkan dengan acara dansa.

“Apa Anda ingin berdansa dengan saya Lady?”

“Ya, tentu.”

Azkier membawa Rain berdansa di bawah lampu gantung yang berada di tengah aula. Azkier baru menyadari sesuatu, saat ia merengkuh pinggang Rain ia merasa gadis itu sangat pas berada di dalam pelukannya. Seakan-akan gadis itu memang hadir dan di ciptakan untuknya.

“Anda melakukan dansa dengan baik,”

“Terima kasih atas pujian Anda,”

Azkier mendekatkan wajahnya hingga cukup dekat untuk mendengar deru napas Rain.

“Apa Anda sudah mendapatkan sebuah petunjuk lady?” bisik Azkier seraya mengendus aroma bunga lilac yang ada pada Rain sebelum kemudian ia menjauhkan tubuhnya.

“Apa Anda pikir saya memiliki kesempatan untuk itu?” sarkas Rain. Azkier memiringkan kepalanya sedikit.

“Ya, seharusnya aku tidak menanyakan tentang hal itu,” ujar Azkier.

Rain berdecak, pikirannya melayang, ia bahkan tidak bisa fokus untuk terus berdansa hingga beberapa kali ia tanpa sengaja menginjak kaki Azkier dan membuat pria itu meringis seraya menatapnya dengan tanda tanya.

Rain hanya tersenyum kikuk. Ia akan minta maaf nanti. Setidaknya itu yang ingin ia lakukan. Musik berhenti tak lama sesudahnya dan mengakhiri dansa antara kedua tokoh utama malam ini.

Rain menunduk dan menatap lantai yang mengkilap. Lampu gantung yang berada di atasnya terlihat bergoyang-goyang. Mata Rain melebar, ia langsung mendongak ke atas dan tanpa ia sadari ia sudah mendorong Azkier agar menjauh dari tempat itu.

Lampu gantung itu jatuh tak lama kemudian. Membuat para tamu ketakutan. Beruntung tidak ada yang terluka. Rain menatap ke atas tempat lampu itu jatuh.

Siapa? Siapa itu?!’ Mata Rain berkeliaran menjelajah dari sisi kiri ke sisi kanan.

“Lady, kaki Anda!” pekik seorang pelayan dengan wajah terkejut.

Rain menunduk dan mendapati pergelangan kakinya terkena serpihan kaca dari lampu gantung. Dan itu cukup dalam.

“Aku akan baik-baik saja,”

“Apanya yang akan baik-baik saja?”
Rain menoleh dan mendapati Azkier berjalan menghampirinya dan mengendongnya dengan sorot mata marah.

“Hei, aku ba—”

“Sekali lagi kau mengatakan hal itu, aku akan menciummu di sini,” sanggah Azkier.

Rain menutup mulutnya rapat-rapat. Beberapa penjaga berlari masuk seraya memberikan arahan untuk tidak terlalu dekat dengan tengah aula.

Azkier lalu berbicara sebentar dengan para penjaga dan memerintah mereka untuk mencari orang yang sudah menyebabkan hal ini terjadi.

“Temukan orang itu, aku yakin dia belum pergi terlalu jauh,”

“Baik!” jawab para penjaga serentak.

Mereka berpencar dan mencari di setiap sudut. Azkier lalu membawa Rain kembali ke kamarnya.

“Anda bisa menurunkan saya Tuan. Saya masih bisa berjalan.” Ujar Rain.

Azkier menatapnya dengan dingin. Tersirat emosi yang menggebu-gebu di balik mata hijau milik Azkier.

“Tuan?” ulang Rain.

“Diamlah, aku melakukan hal ini bukan karena aku ingin.” Omel Azkier. “Kau sangat bodoh dan ceroboh. Bagaimana seandainya lampu itu menimpamu? Apa kau bahkan tidak memikirkan akibatnya?”

Rain berdecak.“ Ya, ya. Baiklah. Lakukan apapun yang kau mau,” gerutu Rain.

Saat sampai di kamar, Azkier membaringkan Rain di ranjang dan memeriksa lukanya. Kakinya bengkak dengan memar serta mengeluarkan darah.

Azkier berdecih.“Luka separah ini kau bilang tidak apa-apa? Apa kau gila?” seru Azkier dengan wajah yang memerah karena menahan marah.

Antagonis Lady [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن