03

49 3 14
                                    

Jam dua dini hari, Wonjin terbangun dari tidurnya. Tenggorokan terasa kering, ia turun dari ranjang lalu pergi ke dapur. Allen sudah memberitahu pekerjaan apa yang harus dilakukan Wonjin dan menganggap rumahnya adalah rumah Wonjin sendiri.

Setibanya di dapur, Wonjin membuka lemari namun, tingginya tidak cukup. Ia bingung harus bagaimana, tenggorokannya benar-benar kering. Detik setelahnya, sebuah tangan berada di kepala Wonjin dan mengambil gelas. Ia memberikan gelas itu ke Wonjin.

"Terima kasih, Tuan Serim," kata Wonjin menerima gelas dari Serim.

"Sama-sama. Jangan panggil saya Tuan, panggil saja 'Kak. Umur saya tidak jauh dari kamu, hanya beda dua tahun."

"I-ya, Pak eh Kak Serim."

Serim tersenyum manis, membuat jantung Wonjin berdebar tidak karuan. Seketika ia ingat jika Serim sudah menikah, dan Wonjin tidak berhak memiliki Serim, dia tidak ingin disebut perebut lelaki orang.

"Saya permisi dulu, Kak," ucap Wonjin sopan.

Serim mengangukkan kepalanya mengerti. Sementara Wonjin, ia hendak kembali ke kamar. Tapi, sayangnya ada genangan air di depannya. Wonjin tidak bisa mengimbangi tubuh, namun sebuah tangan melingkar di perutnya.

"Kak Serim," kata Wonjin menatap manik mata Serim.

Pandangan Serim tidak terlepas dari manik mata Wonjin, begitu juga dengan Wonjin. Tangan satunya bergerak mengelus pipi Wonjin, membuat jantung Wonjin berdegup lebih kencang.

"Kak, tolong lepasin," kata Wonjin setelah sadar kegiatan tadi.

Lamunan Serim buyar, ia melepas tangannya dari pinggang Wonjin dengan hati-hati. Serim menggaruk tengkuknya tidak gatal, bisa-bisanya dia sempat menatap Wonjin yang bukan siapa-siapanya, itulah yang ada dipikirannya.

"Maaf."

"I-ya. Saya ke kamar dulu. Kakak juga harus istirahat lagi," gugup Wonjin, lalu pergi ke kamarnya.

Serim menatap punggung Wonjin sampai menghilang dari pandangannya. Satu kata yang ada dipikiran Serim.

"Manis," gumam Serim, tersenyum manis.

Serim kembali ke kamarnya setelah mengambil air minum dan membawanya ke kamar. Serim menaiki anak tangga ke kamarnya. Ia membuka pintunya, namun yang Serim dapatkan Allen duduk di ranjang.

"Sayang, kok kamu bangun, sih? Ini masih malam."

Allen mengerjapkan matanya, lucu membuat Serim melupakan kejadian tadi di dapur. "Gak ngantuk, aku cari kamu malah gak ada. Aku takut," katanya mengerucutkan bibirnya.

Serim terkekeh geli, ia mengelus pucuk kepala Allen. "Kamu lucu banget, sih. Aku tadi ke dapur, nih ambil minum. Aku gak akan ke mana-mana, Sayang."

Allen mengangukkan kepalanya, ia menarik Serim berbaring ke ranjang. Ia menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya.

"Tidur lagi, yuk," kata Allen lucu.

"Iya, Sayang." Serim dan Allen terlelap dalam tidurnya.

Sementara di kamar bawah, lebih tepatnya kamar Wonjin. Wonjin kepikiran tentang kejadian tadi, ia benar-benar bingung. Wonjin nyaman di dekat Serim, apalagi hanya menatap matanya, tapi ia sadar diri dia siapa.

"Wonjin, sudah jangan pikirkan dia. Lebih baik fokus ke pekerjaan kamu," gumam Wonjin.

Ting!

Dengan cepat, Wonjin membuka ponselnya. Ada notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal. Wonjin malas harus seperti ini, ia terpaksa membuka pesan dari nomor itu.

The Third Person || Sellen + Wonjin✔️Where stories live. Discover now