14. Garis Batas

23 16 8
                                    

Akhirnya Erik menuntunku dan Galih, berjalan di dunia luar yang dingin, membuat pundakku terasa nyeri karena barang bawaan yang harus kutopang pada punggung.

Galih masih sakit. Demamnya lumayan tinggi dan ia tak dapat memantapkan kedua kaki untuk berjalan sebagaimana biasanya, jadi aku meminta Erik untuk berjalan perlahan-lahan. Namun, di saat yang bersamaan, kedua pembicaraan yang mereka lakukan terus menyambung menjadi satu ikatan tali yang padu, membiarkanku menjadi orang ketiga, diam menyendiri, menjadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa. Kurasa hal itu berhasil membangkitkan semangat Galih.

Setidaknya Galih bisa mengejar langkah kakiku dan Erik.

Pembicaraan mereka berlangsung cukup lama, didukung oleh perjalanan yang memang terasa panjang. Namun, begitu kurasa mereka berdua mulai kehabisan bahan pembicaraan, kusela pembicaraan mereka. "Kalau kau mengikutiku, kenapa aku tak melihat bekas jejak kakimu?" tanyaku, langsung kutujukan pada Erik yang masih kesusahan membuat jalan untuk kami, terutama untuk Galih yang sedang tak dapat mengangkat kakinya tinggi-tinggi.

Erik tertawa kecil. Demi apapun, rasanya ingin kusumpal mulutnya ketika mendengarkan bunyi tawa keluar dari mulutnya. Daripada sebuah lagu, bagiku suaranya lebih mirip seperti pesan kematian yang disampaikan oleh setan.

Katanya, dia mencoba menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah kakiku, supaya seandainya sesekali aku melihat kembali jejak yang pernah kutempuh, aku tak dapat mengetahuinya dengan mudah, menghilangkan kecurigaan langsung dan memang benar dia berhasil melakukannya.

Namun, bagiku tetap tidak masuk akal. Kalau memang dia ingin membantu kami, kenapa dia harus menyembunyikan jejaknya? Sampai-sampai sengaja menyesuaikan jejak kakinya dengn jejak kakiku.

"Aku melihat kalian masuk ke dalam gedung tempatku tinggal," katanya, yang entah bagaimana ide untuk menginformasikan hal itu mendatangi Erik.

"Lalu?"

"Aku pikir seseorang akan mencuri barang-barangku lagi." Erik menghentikan langkahnya sejenak, menengok ke arahku dan Galih yang juga terpaksa mengikuti pergerakannya. Galih hampir jatuh karena pikirannya mulai tak fokus. "Tapi aku tidak mau kejadian yang sama terulang kembali, jadi aku menunggu kalian pergi sehingga bisa kuikuti kalian diam-diam. Aku berniat mencuri barangku kembali Ketika kalian tidur."

Oh, jadi itu sebabnya ia mengikutiku, ya?

"Aku sempat mengecek kembali, mencari tahu barang apa yang kalian ambil, tetapi aku tak mendapati adanya barang yang hilang. Aku tetap mengikuti kalian karena bisa saja ada barang yang kulupakan yang sebenarnya kalian ambil."

"Sekelompok orang yang menyerangmu dan menewaskan dua orang lainnya itu, apa yang mereka ambil?"

"Semuanya." Erik kembali melanjutkan perjalanan, membuatku dan Galih mengikuti dari belakang tanpa berpikir. "Tidak menyisakan apapun. Makanan, obat-obatan, bahkan perangkap tikus, semuanya habis tak tersisa."

Aku bisa mendengarkan vokal nyaring yang tertahan. Dalam bayanganku, bisa kulihat seringai senyum yang menghiasi wajah Erik, hanya untuk menahan pilu dari kisah yang ia ceritakan. Padahal, yang sekarang kulihat darinya hanyalah punggung belakang dengan tas gendong yang entah berisi apa.

"Perangkap tikus?"

"Kau pernah mencoba daging tikus?"

"Belum."

"Kau pasti akan mencobanya suatu saat nanti, apalagi kalau kau kehabisan makanan."

Saat ini kondisiku benar-benar hampir kehabisan persediaan makanan, tetapi tak terbesit sama sekali di dalam otakku untuk berburu hewan-hewan pengerat kecil semacam itu. Tidak hanya didasari oleh masalah persediaan makanan saja, sebenarnya, tetapi memang tak pernah kutemukan satu pun hewan yang berkeliaran di musim dingin ini. Aku kira mereka semua sudah mati.

Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]Where stories live. Discover now