7. Dunia yang Beristirahat

35 18 12
                                    

Ketukan palu berdendang memenuhi seisi telingaku, berirama bergantian, seolah menjadi melodi lagu yang sudah lama tak kudengar. Semakin lama, suaranya semakin mengeras, membuat sekumpulan syaraf dalam otakku bercampur padu mengumpulkan rasa kehidupan.

Ketika kedua mataku terbuka, aku sadar bahwa selimut tebal tengah menghangatkan diriku, ditemani oleh kasur empuk dengan bantal bersarung yang dapat menenggelamkan kepalaku kapan saja. Aku tahu di luar sana badai masih berlangsung, karena suaranya beradu dengan irama ketukan palu yang masih berjalan. Jadi, aku yakin tidak sedang berada di alam lain. Namun, tempat ini asing.

Aku beranjak, hendak berdiri, tetapi tertahan oleh ragaku yang masih belum mau bergerak, kemudian sadar sedang tak mengenakan pakaian apapun.

Mencari tahu lebih lanjut, ternyata selimut yang kukenakan bukanlah selimut tebal mahal yang mampu menahan sirkulasi panas dalam tubuhku, melainkan merupakan gabungan beberapa selimut yang sengaja ditumpuk di atas tubuhku.

Aku tak ingat pernah menumpuk selimut. Tidak, kesadaranku terhenti di tengah hipotermia.

Ini bukan pekerjaanku. Jadi, aku memantau sekeliling kamar dan menemukan seorang wanita, di samping kananku, sedang duduk dan tertidur.

Siapa dia? Aku tidak tahu, tetapi tak sopan untukku menanyakan hal itu. Dengan terbangun di tempat asing, bersama seseorang yang tak kuketahui siapa, sudah sepatutnya kuanggap bahwa dia adalah sang penyelamat, apalagi aku bisa mati kedinginan.

Atau sebenarnya aku sudah mati kedinginan?

Ketukan palu berhenti, yang secara bersamaan membuatku langsung mengerjapkan mata, mengumpulkan kembali seluruh kesadaran yang sudah susah payah dibangun oleh sel-sel dalam tubuhku.

Aku ingat, beberapa saat lalu aku terjebak dalam badai, mencari tempat berlindung, kemudian memecahkan jendela rumah untuk masuk ke dalam. Seorang pria mendatangiku dengan pisau di tangannya, tetapi aku tak cukup kuat untuk menjelaskan situasi. Pandanganku buyar setelahnya. Sekarang? Aku berada di sini, bersama seorang wanita.

Namun, tidak hanya itu. Dari balik pintu yang terbuka, kulihat seorang anak kecil berjalan, hendak memasuki kamar—tempatku berbaring sekarang ini, tetapi terhenti setelah beberapa detik mengawasi pergerakanku.

Setelahnya dia pergi, lari terburu-buru. Aku rasa ia berteriak, tetapi tak dapat kuproses secara lengkap, mengetahui kata apa yang anak itu keluarkan dari dalam mulutnya. Yang kuketahui, anak itu kembali bersama seorang pria dewasa, pria yang sama, mungkin, seperti pria yang kulihat sebelum kesadaranku menghilang.

Pria itu membangunkan sang wanita yang hampir mengorok dengan mulut terbuka.

Masih kubutuhkan waktu, membiarkan indra pendengaranku bekerja semakin baik. Si wanita mendaratkan lengan kirinya ke arah leherku, rasa hangat langsung menelusup masuk ke dalam kerongkonganku. Secara ajaib, aku bisa mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.

"Dia masih hidup," Si wanita itu berkata. Namun, mulutku kaku tak dapat memberikan tanggapan atas pernyataannya.

Ada ratusan kata yang ingin kulemparkan keluar, tetapi tertahan di dalam mulutku. Bukan karena aku tak ingin berbicara apa-apa, melainkan karena, biarpun tampaknya keadaanku sudah lebih baik, tetapi seluruh indraku belum pulih seluruhnya.

Aku masih menggigil. Tidak separah sebelumnya, tetapi tetap saja aku belum bisa bergerak bebas karenanya. Aku hanya bisa mendengarkan mereka membicarakanku. Mungkin semuanya akan kembali normal dalam beberapa menit. Kuharap seperti itu.

Si wanita bertanya apakah aku baik-baik saja. Namun, tidak sempat kujawab sampai si pria menimpali, mengatakan bahwa aku pasti baik-baik saja.

Si wanita kembali bertanya, apa yang kulakukan di luar sana di saat badai, tetapi tak sampai satu detik berlalu, si pria itu kembali mewakilkan jawabanku.

Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]Where stories live. Discover now