11. Kenyataan

34 18 9
                                    

Ketika aku bangun, matahari sudah melewati batas cakrawala, bara api telah padam ditelan dingin, dan Galih sudah bangun dengan kedua tangan yang ia tautkan mengitari lutut. Ketika aku bersandar sembari mengumpulkan kesadaran, aku sadar bahwa laki-laki itu sudah tak ada di antara kita.

Sempat berpikir bahwa laki-laki malam itu sebenarnya hanya imajinasiku, yang entah kenapa terasa begitu nyata di dalam pikiranku.

Aku bertanya pada Galih mengenai eksistensinya. Untungnya, jawaban Galih memberitahu bahwa aku belum gila dan membuat bayangan orang asing untuk mengobati rasa kesendirian. Namun, ke mana orang itu sekarang?

Aku memainkan sisa kayu yang terbakar, membuat abu yang tak menempel pada arang jatuh berserakan. Di sampingnya terdapat tumpukan kayu yang masih belum digunakan.

Berpikir bahwa laki-laki itu sengaja berpindah tempat, aku mengintip ke dalam ruang kelas melalui jendela yang pecah. Namun, tak ada apa-apa di sana selain tumpukan meja dan kursi yang telah berantakan. Organigram kelas hasil kreasi anak-anak masih tertempel di dinding ruangan.

Ketika aku berbalik, barulah aku sadar terdapat jejak kaki yang melintang menjauhi tempat kami bermalam. Salju memang tidak turun lebat di pagi hari ini, dan aku yakin jejak itu adalah jejak baru, bukan bekasku maupun Galih yang seharusnya telah tertutup di malam kemarin.

Ketika aku bertanya pada Galih, mencari tahu apakah ia melihatnya pergi, Galih menggelengkan kepala, tak tahu menahu. Namun, ketika menyadari bahwa salah satu tasku menghilang, aku bisa langsung menyimpulkan bagaimana kejadiannya, lengkap dengan alasan mengapa laki-laki itu sengaja meninggalkan kami.

Tasku yang berisi pakaian masih ada di sini, begitu pula dengan tas Galih yang berisi barang-barang berharganya, yang artinya tas kami yang berisi makanan lah yang hilang. Sudah jelas kalau laki-laki itu mengambilnya.

Aku menggerutu, hampir menghardik si laki-laki yang wujudnya sudah tak ada, tetapi kutahan karena Galih bisa mendengarkannya. Akhirnya aku hanya mengecek sisa barang yang laki-laki itu tinggalkan.

Tas Galih masih berisi penuh dengan barang-barangnya. Kurasa buku dan alat tulis bukanlah barang menarik yang ingin laki-laki itu ambil. Namun, setengah dari makanan yang kami miliki, dan sebagian kecil pakaian yang sebelumnya kami bawa, hilang entah ke mana. Obat-obatan masih lengkap, mungkin karena laki-laki itu tak menemukannya.

Benar, laki-laki itu mengambil setengah persediaan makanan serta beberapa pakaian. Apakah aku harus bersyukur karena setidaknya laki-laki itu masih menyisakan sebagian persediaan untuk kami konsumsi? Ataukah harus kukutuk dirinya, karena ia mengambil sebagian barang bawaan kami?

Apakah dia seorang pencuri yang baik? Tunggu, memangnya ada ya, orang yang mengategorikan pencuri sebagai orang baik?

Apakah aku terlalu mudah percaya pada orang lain? Apakah aku terlalu mudah percaya jika aku bisa melalui situasi buruk, entah dalam bentuk apapun itu? Aku tidak tahu, karena tampaknya semalam kemarin, laki-laki itu bukanlah orang jahat yang akan menggorok leherku dan Galih hanya untuk merampas barang bawaan kami. Ya, walaupun sebenarnya cukup terbukti dengan bagaimana ia meninggalkan sebagian persediaan kami. Padahal, kalau memang mau, dia bisa mengambil semuanya dan tak perlu repot-repot memindahkan barang bawaan kami ke tas yang lainnya.

Laki-laki itu meninggalkan tasnya, yang ketika kubuka tak lebih dan tak lain dari kekosongan. Pantas saja dia tak membawanya, apalagi dengan kondisi tasnya yang lebih buruk dari tas yang ia curi.

Sudah berapa lama dia pergi? Apakah aku sanggup mengejarnya? Apakah dia sudah pergi jauh?

Berbagai macam pertanyaan itu terus menyeruduk pikiranku. Namun, aku mencoba untuk menenangkan pikiran. Aku tak boleh tergesa-gesa, bertindak semauku tanpa memikirkan akibatnya. Jadi, aku masuk ke dalam kelas, merusak sisa kursi yang masih tersisa untuk dijadikan potongan-potongan kayu yang bisa kugunakan nanti.

Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]Where stories live. Discover now