6. Dingin

40 18 18
                                    

Hitungan hari sudah tak terjamah lagi oleh otakku. Siang dan malam terus berganti, tetapi aku tak ingat sudah berapa kali. Permainan kartu yang kami jadikan alat penghabis waktu mulai tak menarik untuk dimainkan. Satu-satunya aktivitas yang masih kami lakukan dengan penuh semangat hanyalah mengeruk tumpukan salju yang meninggi di luar sana, membuatnya tak menghalangi jalan kami keluar seandainya memang dibutuhkan.

Aziz mengeluarkan sembilan sekop yang merupakan sebuah kesalahan. Rentetan jalan kartu terpaksa harus ditutup karena keteledorannya, menyebabkan tidak hanya dia yang rugi karena skor minus, tapi seluruh kartu yang ada di tanganku juga jadi tak berarti, karena kartu-kartu yang kubutuhkan semuanya berada di bawah, tak dapat kugunakan lagi.

Tak ada sorakan kegembiraan, tak ada komentar yang kami lontarkan pada kesalahan Aziz. Aziz pun sama, menerima dengan lapang dada, berbeda dengan permainan kartu pertama, di mana insiden pertamanya membuat kami heboh. Aziz ingin mengulangi langkah terakhirnya demi menutupi kesalahan, aku dan Galih bersikeras bahwa hal itu tak boleh dilakukan.

Sekarang, semuanya terasa membosankan.

Galih menurunkan seluruh kartu di tangannya, tetapi bukan sebagai bentuk permainan, karena ia tak membukanya untuk kami lihat secara saksama. "A, Galih udahan, ya," katanya, dan sejujurnya hal yang sama ingin kuungkapkan. Namun, aku terlalu takut untuk merusak permainan—aku tak tahu apa yang ada di pikiran mereka.

Galih beranjak, berdiri, yang jelas membuatku spontan bertanya, "Mau ke mana, De?"

"Ke kamar."

"Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung ke sini." Aku memberitahunya, sebuah pesan yang sudah kukatakan berulang kali, hingga aku yakin Galih sudah bosan mendengarnya. Pesan yang tak lumrah diucapkan pada seseorang yang pergi tak lebih dari dua puluh meter.

Anak itu tak menjawab, tapi aku tahu dia pasti mendengarkan. Aku juga tidak memintanya merespon, karena dia bukan anak kecil yang seluruh tindakannya harus kufiksasi sebanyak mungkin.

Di saat yang bersamaan, Aziz berkata, "Kasihan ya, adikmu."

Aku mengambil kartu yang berserakan, kemudian merapikan ujung-ujungnya. Secara teliti kubalikkan kartu-kartu dengan arah wajah yang berbeda, membuat mereka tampak elok dipandang mata. "Mau gimana lagi?" kataku, yang kemudian dibarengi oleh alihan pandanganku. Galih sudah membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya.

Aziz menyodorkan rentetan kartu tangannya, menyerahkannya padaku untuk kubereskan. Kemudian, ia bertanya, "Kalau nggak sekolah sama main, biasanya adikmu ngapain aja, Man?"

"Belajar terus dia mah." Tumpukan kartu itu berhasil kurapikan sebaik mungkin. Aku mencari kotak pembungkusnya, yang kuyakini tak kusimpan jauh dari tempatku duduk.

"Mungkin bener kata yang lain deh, Man. Sekarang bukan cuma masalah perut, tapi masalah mental juga harus diperhatiin."

Aku mengerti maksud Aziz. Selama ini kami bertahan, lancar, setidaknya dalam masalah bertahan hidup. Namun, untuk apa kami terus bertahan selama ini? Masih untung jika fenomena ini akan berakhir, tetapi bagaimana jika tidak? Apakah pertahanan diri kami ini sia-sia?

Untuk apa kami bertahan?

Berapa lama aku harus mengisolasi diri, berharap bahwa dunia, suatu saat, akan kembali membaik? Kalaupun memang akan terjadi, apakah aku sanggup bertahan selama itu?

"Menurutmu gimana?" Aku bertanya pada Aziz, dan dia mulai memainkan mulutnya, mencengkeram kata-kata yang sudah berada di pikiran untuk tidak segera keluar terlebih dahulu, memperpanjang waktu pembicaraan untuk memotong sisa waktu yang harus kami pikirkan akan digunakan untuk apa.

Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]Where stories live. Discover now