BAB 11

12K 854 0
                                    

"Trauma." Satu kata meluncur dari seorang wanita yang baru saja memeriksa pasiennya.

Kernyitan tipis dengan wajah bingung lelaki di depannya membuat wanita ber jas dokter tersebut mengambil nafas untuk melanjutkan penjelasannya.

"Ada yang memicu trauma Nona Esya. Entah trauma apa itu saya juga tidak tau. Racauan juga sesak nafas adalah gejala yang dialami Nona Esya."

"Kemungkinan nanti saat Nona Esya terbangun, ia akan lupa dengan hal yang terjadi. Hal itu lebih baik daripada membuatnya mengingat dan kembali mengalami gejala traumanya."

"Saya telah mengatakan hal ini kepada Bi Kara, saya sarankan untuk membawa Nona Esya ke psikiater. Tadinya saya hanya menyarankan hal ini karena mengetahui Nona Esya sering melakukan 'selfharm'."

"Saya juga menemukan 3 sayatan yang masih baru di lengan kiri, Nona Esya. Ditambah sekarang Nona Esya juga mengalami gejala trauma. Hal ini tentu menambah kerusakan mental Nona Esya sendiri."

"Saya sarankan agar 'Keluarga Andreaxa' dapat menjaga mental Nona Esya mulai saat ini."

Walau saya tau kemungkinannya mustahil, Batin Dokter tersebut menyendu.

"Saya permisi, Tuan Muda. Apabila Nona Esya sudah sadar silahkan panggil saya."

Setelah Dokter tadi berlalu, Lelaki tersebut pun masuk ke dalam ruang rawat dan melihat seorang gadis terlelap di atas ranjang pesakitan.

Lelaki itu, Ren, memilih duduk di sofa sebelah pintu masuk. Mengamati dari jauh tubuh gadis yang terbaring tersebut.

Penjelasan sang Dokter tadi membuat kernyitan tipis hadir kembali pada dahi Ren.

Trauma apa?
Pemicu Trauma?
Apa lelaki paruh baya tadi itu?

Ren teringat tentang tindakannya tadi. Kenapa ia merasa panik saat tau bahwa gadis itu pingsan dalam gendongannya?

Setelah tau bahwa Esya pingsan, Ren pun melangkahkan kakinya lebih cepat menuju parkiran mobilnya.

Esya ia letakkan di kursi penumpang belakang, dapat Ren lihat pernapasan Esya sedikit tersendat.

Tanpa membuang waktu lagi, Ren pun langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.

Dan entah kenapa rasa panik dan takut menyerang ke dalam hatinya, ia seperti merasakan dejavu apalagi saat melihat wajah Esya yang mirip sang Bunda.

Selfharm?

Ren pun menuju ke sisi kiri Esya. Disingkapnya lengan panjang baju pasien yang menutupi tangan kiri Esya.

Terkejut? Tentu saja, ia tak tau jika Esya pernah melakukan hal tersebut. Ditambah memang ada 3 sayatan yang nampak masih baru seperti yang dikatakan Dokter Fyasa tadi.

Kata 'Kenapa?' berenang dengan bebas di benaknya. Kemudian, kalimat Dokter Fyasa sebelum permisi pergi menghampiri benaknya.

"Saya sarankan agar 'Keluarga Andreaxa' dapat menjaga mental Nona Esya mulai saat ini."

Ren kemudian melihat ke wajah damai Esya. Apa tindakannya selama ini salah? Pertanyaan itu memukul pikiran Ren tiba-tiba.

Tidak, dia pantas diperlakukan seperti ini.

Pandangan Ren pun kembali dingin begitu pula langkahnya yang mulai berlalu menuju sofa.

Sekarang gue cuma kasihan sama dia, gue gak sayang sama dia. Gue benci dia.

Kata-kata itu Ren tanamkan dalam hatinya. Menyanggah nurani kecilnya yang berteriak bahwa ia menyayangi gadis bernama lengkap Nafesya Alexandria Andreaxa tersebut.

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang