13. Unknown Number

554 46 3
                                        

Liona membuka sedikit pintu kamarnya guna melihat Adi sang ayah tengah duduk di ruang keluarga bersama siaran berita yang membosankan. Asbak kecil di meja menjadi tempat sepuntung rokok yang masih mengepulkan asap. Sejak ibu pergi, ayahnya memang jadi kecanduan benda itu.

Liona menunduk sedikit meremas amplop di tangannya, menimang, apakah dia harus memberikan surat izin tinggal di asrama ini kepada ayahnya? Karena tanpa memberikan surat ini pun Liona sudah dapat menebak apa reaksi ayahnya setelah itu.

Tapi, surat ini tetap harus sampai ke tangan ayahnya karena bagaimanapun Liona tidak akan bisa tinggal diam-diam di asrama tanpa menberi tahu ayahnya. Setelah bergulat dengan berbagai macam spekulasi buruk, akhirnya Liona menang, dia menarik daun pintu dan mendekati Adi pelan-pelan.

"Ayah nggak ke bengkel?"tanya Liona basa-basi. Sempat ragu Liona akhirnya duduk di sebelah ayahnya. Liona tidak bisa terus mempertahankan egonya, karena itu hanya semakin menambah masalah.

"Shift ayah nanti sore. Kenapa?" Mata Adi terus terpaku pada siaran berita. Tak sedikitpun berniat menatap putrinya.

"Liona mau minta maaf soal kejadian malam itu. Ayah mau kan maafin Liona?"Sebelum ke inti, Liona ingin menyelesaikan masalah di malam minggu kemarin. Karena Liona yakin setelah dia memberikan surat ini, masalah lebih besar pasti akan datang.

"Sudah ayah maafkan."Kali ini atensi Adi beralih penuh pada putrinya."Jangan di ulangi lagi. Ayah nggak suka kamu bermain dengan banyak laki-laki. Apalagi malam-malam. Cukup Naka saja dan itu juga harus ada batasan."

Liona hanya mengiyakan saja. Setelah diam beberapa saat, dia pun memberanikan diri menyodorkan amplop tersebut pada ayahnya.

"Sebenarnya Liona mau kasih ini ke ayah."Liona tidak berani menatap ekspresi ayahnya setelah itu. Yang ada dia hanya menunduk dan menautkan kedua jemari seraya berdoa ayahnya berubah pikiran dan mengizinkan Liona belajar di kelas Orion.

"Sudah berapa kali ayah bilang..."

"Yah, Lio mohon sekaliii aja, izinin Lio buat nentuin pilihan Lio sendiri, Lio janji nggak akan macam-macam, Lio janji akan selalu melakukan perintah ayah. Tapi tolong yah, buat kali ini aja, plis."

Liona menggenggam tangan ayahnya berharap sang ayah mau melihat kesungguhannya. Namun, yang Liona lihat justru membuatnya putus asa. Adi langsung meletakan surat tadi di meja tanpa beban dan kembali menonton televisi yang sedang iklan seolah hal itu lebih menarik dari pada menggubris atensi sang putri di sebelahnya. Liona menghela napas kecewa.

"Yah..."

Hening.

"Kalau begitu Liona tetap pergi meskipun ayah nggak mengizinkan."

Liona sudah akan beranjak pergi jika saja suara Adi yang keras tidak menyerobot gendang telingnya.

"Liona!"

Adi berdiri dari duduknya.

"Sampai kapanpun ayah tidak memberi izin. Kamu pikir ayah percaya dengan kamu belajar seharian dan tinggal di asrama membuat kamu jadi anak yang baik. Kamu malah jadi leluasa memakukan hal sesuka hati, bergaul dengan banyak laki-laki itu kan yang sebenarnya kamu mau?"

"Kenapa sih yah? Ayah selalu nggak percaya dengan anak ayah sendiri? Liona ini anak ayah apa bukan sih?"

"Justru karena kamu anak ayah satu-satunya Liona."Adi memijit pelipisnya, sudah tidak mengerti lagi isi kepala anaknya yang selalu keras kepala. Ingin menang sendiri.

"Naka ikut tinggal di asrama juga?"Pertanyaan Adi langsung direspon anggukan cepat dari Liona.

Adi menghela napas berat, lalu duduk lagi di bangku. Mengambil surat izin tadi dan membacanya sekali lagi.

TroublemakersWhere stories live. Discover now