t h r e e

388 33 1
                                    

"Wilette."

Merasa namanya dipanggil, Wilette pun menjauhkan tatapan dari layar ponsel di tangannya, kemudian mendongak pada—Giselle, yang kini tampak heboh sendiri.

"Mm?"

Giselle menyatukan alis saat Wilette tampak tenang, sampai gadis berambut panjang itu menyandarkan punggung di bangkunya dan melipat kedua tangan di depan dadanya, angkuh seperti biasa, dingin seperti seharusnya.

"Kak Kaskal berdarah."

Wilette mendengus, lantas berdesis tajam, "Apa urusannya sama aku? Udah ditangani, kan? Aku harus apa emangnya?" Ya, berdarah untuk orang seusia Kaskal pasti bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan, termasuk Wilette sendiri yang berpikir demikian, sekalipun dia tahu kalau kakaknya memiliki kasus berbeda, "Aku sibuk, tau. Ngga liat apa?"

Kemudian Wilette kembali memusatkan atensinya pada layar ponsel itu; menyaksikan video-video violin ternama lain yang sudah lebih dulu menjadi bintang dari pada dirinya. Tapi Giselle masih tak habis pikir, dia harus berpuas diri lagi saat menghadapi sikap masa bodoh Wilette. Padahal maksudnya di sini baik, setidaknya seorang adik harus memiliki rasa sayang untuk kakaknya, kan?

"Kenapa kamu bisa benci kakakmu sendiri, sih?"

Karena pertanyaan tiba-tiba Giselle itu, Wilette jadi reflek melirik tak suka padanya, "Kamu mau tau? Coba aja masuk ke keluarga Tanata. Liat sendiri."

"Sebenci apapun kamu, Kak Kaskal itu kan selalu nomersatuin kamu, Wil."

Brak!

Gebrakan meja dari dua tangan Wilette disusul beranjaknya ia dari bangku yang tadi diduduki, turut mengundang keseluruhan atensi dan tatapan bingung dari teman-teman sekelasnya.

Terang saja Wilette jadi terpancing, emosinya seketika tersulut, nafasnya pun tersengal sebab ia jengkel bukan main ternyata Giselle berani seikut campur itu, "Aku bilang, coba—jadilah—bagian—keluarga—Tanata, kalo masih pengen tau."

Sepersekian detik itu, Wilette sengaja menyenggol bahu Giselle agar temannya itu mau menyingkir dari jalannya. Ia berjalan angkuh melenggang keluar kelas, menghentak sepasang sepatu mahalnya keras-keras, membuat kekesalannya jadi tampak kentara. Giselle masih tertegun di tempatnya berdiri, di samping bangku Wilette, ia bahkan sampai menghembuskan nafas berat berkali-kali, benar-benar heran dengan tabiat Wilette itu.

"So, now you're acting like a princess?"

***

"Aw! Pelan-pelan, dong. Bisa, kan?"

Xinera tidak peduli pada rengekan Kaskal disaat dia sedang berkonsentrasi melilitkan perban di lengan kanan yang terserempet anak panah ini—darahnya masih mengucur, jadi sebisa mungkin dia harus menghentikan pendarahannya.

"Perawat yang ini masih latihan, ya?" Karena permintaannya tak bersambut, Kaskal jadi melirik pada Dara, perawat asli ruang kesehatan sekolahnya ini, "Kenapa Kak Dara bolehin dia ambil alih, sih?"

Dara terkekeh, tapi Xinera berdesis, "Diem."

"Dih. Tadi darahku kececer dari lapangan sampe ke sini, ya? Kasihan Pak Yihan harus bersihin—"

"—bisa diem ngga, sih?" Xinera berhenti, dia berubah sengit sekarang, "Kalo kamu ngoceh terus, perban ini bisa pindah ke mulutmu, Kal."

"Ngeri, dah. Selain ngga berpengalaman, perawat baru ini juga ngga ramah sama pasiennya, ya? Nanti ngga ada yang mau berobat—"

"—Kaskal!"

"Iya. Iya. Aku diem."

Dara malah gemas sendiri memperhatikan interaksi mereka, si langganan yang selalu datang ke mari; sebab setiap Kaskal terluka, Xinera selalu mengantarnya, membersihkan lukanya, mengobati lukanya, "Kan, kalo ada Xinera yang nanganin kamu gini, kerjaan aku jadi jauh lebih gampang, tau."

Lost Like Tears in Rain [Move to Cabaca ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang