Chapter 33 - Honesty & Friendship Gone Wrong

Start from the beginning
                                    

Aku tertawa kecut, mengasihani diri sendiri. "Lo sendiri tahu tim kita udah berkurang dua orang, nyari orang baru juga nggak segampang itu, tapi lo malah—"

"Masalah Melissa mantannya Eros sumpah gue nggak tahu, Na," bela Andro.

"Bullshit!"

"Sumpah! Demi Tuhan sebelum perjanjian itu gue nggak ngerti kalau Melissa dulu pernah punya hubungan sama Eros."

"Perjanjian apa yang lo sepakati sama Melissa?"

Andro mengusap wajahnya gusar lantas menjawab, "Gue ngelamar kerja di kantornya Melissa awalnya iseng nemu di Jobstreet. Dapat panggilan interview. Ditawarin gaji gede, tapi dengan syarat gue harus bocorin daftar calon klien punya anak project, biar klien itu lari ke kantornya Melissa. Waktu itu gue nggak bisa mikirin apa-apa, yang ada di kepala gue Cuma duit buat operasi bokap dan sekolah adek-adek gue. Jadi nggak ada yang keluar dari mulut gue selain kata iya."

Aku tersenyum miring, emosiku memuncak, hanya bisa melampiaskan dengan mengepal tangan.

"Di hari gue resign dan pamitan lewat WA, gue cuma kerja sehari di kantornya Melissa karena hati gue nggak tenang."

"Oh, jadi sia-sia dong udah ngasih data klien ke Melissa sementara lo cuma kerja sehari di sana. Nggak jadi dapet duit yang lo idam-idamkan itu," balasku menohok.

"Lo berhak berkomentar apa pun, tapi memang gue nggak tenang dan terus dihantui rasa bersalah ke Eros, ke lo, dan anak-anak Erosoft yang lain. Gue udah coba hubungi Eros, tapi dia cuma balas lewat pesan, gue nggak mau liat muka lo lagi. Dia udah benci banget sama gue, Na."

"Karena lo memang pantas untuk dibenci," jelasku, lalu melirik ke kaca spion depan untuk melihat Roro yang duduk di kursi belakang. "Lo sejak kapan tahu masalah ini, Ro?"

Roro menunduk, tak lama isak tangisnya terdengar.

"Sejak lo berangkat ke Surabaya," jawabnya dengan suara bergetar. "Ma-maafin gue karena—"

"You guys totally traitor!" Aku berteriak meluapkan emosi. "Dan, lo Ro... gue nggak nyangka lo bisa kayak gini ke gue. Kita temenan berapa lama sih? Kita udah kayak sodara, Ro! Kalau aja lo bisa ngomongin ini lebih awal ke gue, gue bisa mencegah hal ini terjadi."

Air mataku mulai menggenang. Aku sudah siap atas penjelasan apa pun, tapi mengetahui fakta dari Roro rasanya lebih menyakitkan daripada penjelasan runut yang dituturkan Andro.

"Jangan salahin Roro, Na. Gue yang minta ke dia." Andro membela.

"Lo lebih percaya sama cowok berengsek ini daripada gue, Ro? Hah?!"

Roro hanya bisa menangis. Makin lama suara tangisannya makin kencang. Air mataku akhirnya tumpah. Buru-buru kuusap dengan tangan.

"Gue anggap persahabatan kita selesai," kataku sambil menahan tangis.

"Na... Tolong jangan gitu." Ia memohon. "Gue sayang sama lo, Na. Gue udah anggap lo kayak kakak yang nggak pernah gue punya." Roro menyentuh lenganku.

Dengan rasa sesak di dada, aku keluar dari mobil, berlari keluar area rumah sakit untuk mencegat taksi.

Aku tidak pulang ke kos, melainkan datang ke apartemen Eros, tanpa mengabarinya lebih dulu. Untungnya Eros ada di apartemen ketika aku bertanya pada resepsionis. Sekitar lima menit setelahnya Eros menjemputku di lobi. Wajahnya terlihat khawatir waktu bertatapan denganku. Namun, dia tidak menanyakan apa-apa.

"Suka nasi hainan?" tanya Eros kemudian waktu aku membuka pintu kamar mandi.

Aku mengangguk.

"Nasi hainan buatan Mami. Tadi diantar sama sopir ke sini," jelasnya tanpa kutanya. "Mau makan di meja makan, atau di depan TV aja yang lebih nyaman?"

Love Vs. LogicWhere stories live. Discover now