XVI. Rasa Ingin Menjaga (I)

81 15 8
                                    

Happy reading!

***

Remang-remang cahaya mulai terlihat di kegelapan. Sinarnya semakin menyala terang seiring kesadaran seseorang kembali menguasai raganya. Pandangan yang buram membuat dia mengerjapkan matanya hingga semuanya terlihat jelas.

Gelap, hampa, dan sunyi. Sekelilingnya terdapat tembok berbatu yang dingin. Pada satu sisinya terdapat pintu berjeruji besi yang kokoh mengurungnya. Samar-samar, suara lengkingan suatu makhluk terdengar dan membuat suasana sedikit menyeramkan. Suara lengkingan itu berasal dari para Siren yang berada tak jauh di sekitar.

Merasa ada suatu beban di pundaknya, Alvandor pun menoleh dan mendapati Aleana yang masih tak sadarkan diri. Gadis itu masih berada dalam pengaruh tanaman lilit yang membuat seluruh tenaga serta kekuatannya terkuras habis.

Senyuman tipis terbit di bibir pemuda bersurai putih panjang itu. Dia menatap wajah Aleana yang berada dekat dan memuaskan rasa kerinduannya. Tangannya bergerak menyentuh pipi Aleana yang lembut dan kemerahan. Manik birunya yang indah selalu menjadi pengingat pertemuan pertama mereka. Namun sayangnya kini manik biru itu bersembunyi di balik kelopak mata yang terus menutup.

Suara deritan pintu jeruji besi yang dibuka membuat Alvandor menoleh. Beberapa Siren datang dengan menunjukkan tatapan kelaparan mereka. Salah satu tangan Alvandor mengungkung Aleana saat dua Siren masuk menghampiri mereka.

"Apa yang akan kalian lakukan?"

Tatapan Alvandor menajam dan kekuatannya menguar dari dalam tubuhnya. Dia akan siap memberi serangan jika Siren itu macam-macam. Alvandor tidak akan membiarkan mereka menyentuh Aleana sedikitpun.

"Kami tidak memiliki urusan denganmu, kepala putih!"

Melihat dua Siren itu semakin mendekat, Alvandor mengeluarkan kekuatannya dan membuat mereka tersentak ke belakang. "Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuhnya sedikitpun!"

Suara kekehan terdengar dari mereka. "Oh, jadi kau mengancam kami," ucap salah satunya. Sekejap kemudian wajah mereka berubah seram dan gigi-gigi panjang serta tajam mereka diperlihatkan. Kuku tangan mereka memanjang dan sangat tajam. Mata mereka membesar dan berubah merah.

Alvandor bertambah siaga. Satu tangannya dia gunakan untuk memeluk erat Aleana, satu tangannya lagi untuk mengeluarkan kekuatannya.

Para Siren itu menggeram marah. Mereka berenang mendekat walaupun Alvandor menyerang menggunakan kekuatannya. Sengatan pada tubuh mereka membuat mereka semakin kesal. Menghiraukan rasa sakit akibat serangan Alvandor, mereka kembali berenang cepat. Salah satu dari mereka mencekik leher Alvandor dan satunya lagi menarik Aleana untuk terbebas dari pelukan laki-laki itu.

Cekikan Siren begitu kuat disertari kuku-kuku tajam mereka yang mulai menusuk ke dalam kulit. Rasa perih dan menyengat membuat Alvandor meringis. Tangannya meronta-ronta, namun cekikan Siren itu sulit dilepaskan.

"Jangan berani-beraninya kau mengancam kami lagi!"

"Aargh!"

Dukk!

Alvandor didorong kuat hingga membentur tembok batu. Hantaman pada punggungnya tak seberapa dibanding cekikan disertai tusukkan kuku pada lehernya. Sekeliling lehernya terlihat merah dengan beberapa luka bekas tusukkan yang terasa perih. Para Siren itu berdesis sebelum pergi dari sana sambil membawa Aleana yang tidak sadar.

Mereka membawa Aleana ke sebuah ruangan di mana sang pemimpin Siren sudah menunggu. Aleana diletakkan di atas sebuah meja batu datar panjang, lalu para Siren yang membawanya berenang mundur menepi ke sisi ruangan.

ETERNUS [END S1]Where stories live. Discover now