K e m b a l i | 05

966 177 31
                                    

Jongin menerangkan dengan jelas apa saja yang harus mereka lakukan dalam penggarapan proyek ini. Pembawaannya yang selalu serius dan tegas membuat para karyawan dan kolega mau tak mau sedikit dibuat tegang. Jangankan di dalam ruang pertemuan, ketika di luar saja Jongin jarang sekali tersenyum maupun bersenda gurau bersama yang lain, selalu terlihat kaku dan kurang berekspresi. Bahkan Lady sebagai kolega lama pun masih belum bisa membuat lelaki tinggi itu lebih santai dan terbuka. Selalu saja serius dan menjaga pandangan, serta menolak setiap undangan makan siang jika benar-benar tidak ada kepentingan di dalamnya.

Namun sangat berbeda bila sudah berada di sekitar istri dan anaknya. Lelaki itu mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Menjadi sangat lembut, manis, teduh, banyak tersenyum, dan penuh kasih sayang. Memang benar apa yang dikatakan oleh Devan, hanya Dyo yang mampu menjungkir balik kehidupan Jongin.

Pertemuan usai setelah dua jam berlangsung. Memang terasa tegang, namun berjalan dengan lancar.

“Tolong arsipkan semua data yang tadi kita diskusikan dan jadikan satu dengan berkas yang saya kirim semalam.” kata Jongin kepada Devan yang sedang membersihkan meja pertemuan.

“Siap, Pak.” jawab Devan patuh, “Oh iya mohon maaf, Pak. Boleh saya tanya?”

Jongin membenarkan letak dasinya kemudian menatap sekretarisnya, “Silakan.”

“Gimana kondisi Zaman? Saya denger beberapa hari ini kondisinya menurun lagi. Radang paru-parunya kambuh?”

Ayah satu anak itu terdiam, wajahnya yang keras tadi kini melunak dan terlihatlah kelemahannya.

“Pak Izar? Kalau Bapak gak berkenan jawab gak papa--

“Ada yang mau usil sama keluarga saya, Devan. Istri saya sakit bukan karena radang paru-parunya, tapi ada yang mau nyelakain istri saya dengan kirim ilmu hitam.”

Devan tersedak ludahnya sendiri, tubuhnya hampir limbung mendengar jawaban Jongin.

“Pikiran Dyo jadi sering kacau, dia sering berbuat hal-hal tanpa disadari, seperti melukai diri sendiri atau mengamuk. Sering melantur dan depresi.” Jongin terduduk, kepalanya menunduk teringat kejadian terakhir.

Devan ikut duduk di depan ketua divisinya. Dia tahu benar seberapa besar cinta Jongin terhadap Dyo, dan tahu benar seberapa kacau Jongin ketika terakhir kali Dyo masuk rumah sakit.

“Kamu teman dekat istri saya, saya mohon kamu doakan istri saya ya. Doakan juga saya supaya bisa segera menemukan pelakunya. Saya gak mau kehilangan istri saya, Devan.”

Devan pernah melihat ketuanya menangis karena Dyo, tapi dia tak pernah melihat ketuanya menangis sampai memohon seperti ini di depannya demi orang yang dicintai.

Air mata dia lihat menetes di wajah yang selalu terlihat tegas dan tegar itu. Isakan sakit dan ketakutannya membuat Devan bergetar. Dapat dia rasakan betapa besar cinta Jongin terhadap istrinya.

Apa yang bisa Devan lakukan selain mengangguk dan berjanji akan terus mendoakan keselamatan teman kuliahnya.

“Ah maaf, Devan, kamu jadi lihat saya menangis.” Jongin terkekeh kiku sambil mengusap air matanya asal.

“Gak apa-apa, Pak.”

“Jadwal setelah ini apa? Oh iya, kamu bilang ada dokumen yang perlu saya bicarakan berdua dengan Ibu Lady. Dokumennya kamu bawa?”

“Oh iya, Pak. Saya sampai lupa hehe. Ini, mengenai konsep dan inovasi. Tadi Ibu Lady berpesan pada saya kalau Bapak bisa menemuinya di ruangannya.” Devan memberikan beberapa map berkas kepada ketuanya dan disambut dengan baik.

“Sekarang?” tanya Jongin.

Kening Devan mengerut, “Ibu Lady gak ngasih tahu kapan-kapannya, tapi menurut saya sekarang lebih baik. Dari jadwal yang saya punya, Ibu Lady tidak ada pertemuan atau janji lain hari ini.”

KEMBALI [KaiSoo] ✔Where stories live. Discover now