k e m b a l i | 02

957 187 17
                                    

Dyo memperhatikan sekelilingnya, bibirnya hampir tak bisa mengatup melihat ruangan yang dijadikan sebagai tempat perjamuan pada malam hari ini. Acara ini lebih tepat disebut sebagai pesta daripada acara makan malam biasa. Orang-orang kaya dengan balutan pakaian mahal berlalu lalang di depannya, saling bercakap dan bercanda yang sayangnya candaannya tak sampai di otak ngawur Dyo.

“Bang, aku balik aja ya, aku gak paham sama obrolan mereka. Tempat ini terlalu elegan buat aku yang cuma anak warungan.” Dyo mengguncang bahu suaminya yang menggamit lengannya.

Jongin menunduk kemudian tertawa pelan sambil mengubah gamitannya menjadi rangkulan nyaman pada pundak sang istri. Arvenda terlihat sangat nyaman berada di gendongan ayahnya.

“Kamu jangan ke mana-mana kalau gitu, deket-deket aku aja.” bisik yang lebih tua sambil sematkan kecupan singkat di pelipis mata.

Keduanya kemudian melangkah lebih dalam dan bersalaman dengan teman serta kolega Jongin.

“Ini istri dan putra saya.” ujar Jongin, memperkenalkan Dyo dan Arvenda kepada rekan kerjanya yang belum pernah bertemu dengan Dyo maupun Arvenda sama sekali.

Salah seorang kolega yang bisa dikatakan baru saja mengenal Jongin membolakan mata, “Saya kira anda belum menikah, Pak Izar. Ternyata malah sudah punya anak.” dia tergelak sambil menyalami tangan Dyo.

“Saya sudah menikah tiga tahun lalu. Istrinya saya memang lebih suka di rumah, jadi jarang mau kalau saya ajak ikut ke acara-acara kantor.” balas Jongin.

Dyo hanya bisa tersenyum kiku sambil menahan gemas tidak menginjak kaki suaminya. Obrolan orang-orang berjas elegan itu begitu membosankan di telinga Dyo. Dipenuhi oleh para pengusaha dengan usia tak lagi muda, serta pemuda-pemuda berpendidikan. Dia tak menemukan Devan di manapun. Paling tidak dia bisa mengobrol dengan teman kuliahnya itu kalau Jongin sibuk mengobrol dengan orang-orang ini.

“Kapan makannya?” bisik Dyo, dirinya harus sedikit berjinjit agar bisa sampai ke telinga suaminya.

Jongin mencubit pinggang Dyo dan balas berbisik, “Udah laper ya?”

Dengan polosnya Dyo mengangguk. Dirinya memang sudah sangat lapar karena telah diniatkan tak makan dari rumah agar dia bisa menikmati makanan yang dihidangkan dalam acara ini. Pikirnya, biasanya makanan dalam perjamuan seperti ini akan sangat lezat karena dibuat oleh koki profesional.

“Yaudah ayo. Aku juga udah laper sebenernya hehe.” balas Jongin.

Tuhan, Dyo ingin menepuk keningnya, tapi ditahan karena masih di depan kolega suaminya.

Jongin dengan banyak alasan elit yang dimilikinya akhirnya bisa menyingkir dari orang tua yang rambutnya hampir seluruhnya putih dan botak.

Acara makan malam pun dimulai dengan diselingi sambutan dari pimpinan perusahaan tempat Jongin bekerja serta para kolega yang diundang. Musik dimainkan, diiringi dengan lagu dari penyanyi yang diundang khusus. Arvenda kini berpindah ke pangkuan Dyo, memakan kentangnya dengan amat lahap hingga bibirnya kotor terkena remahannya.

Banyak kali para tamu undangan yang melewati meja Jongin dan Dyo tak dapat mengalihkan pandang kepada pasangan ini. Terlalu sulit untuk diabaikan karena perlakuan Jongin yang teramat manis kepada Dyo dan Arvenda.

“Ini misal beli di restoran habis jutaan kali ya, Bang.” kata Dyo, memulai pembicaraan. Dirinya terkikik sembari mengunyah steak-nya. Benar-benar enak batinnya.

Jongin mengangguk, “Gak rugi kan aku ajak kamu?” matanya berkedip sebelah sambil tertawa pelan.

Dyo mengangguk dua kali dan melahap potongan steaknya lagi.

KEMBALI [KaiSoo] ✔Where stories live. Discover now