"Dua." Katalog dalam selembaran tebal yang diletakkan di dekatnya tertangkap dalam penglihatan. Mempercepat proses transaksi, ia menambahkan. Sudah memahami betul apa yang harus ia katakan.

"Dua kamar tipe single room."

Gelagat sang resepsionis mendadak sungkan. Pergelangan yang menggeser catatan tabel penuh tulisan terlipat maju.

"Maaf sekali, Mbak. Untuk single room sudah terisi penuh. Jika untuk berdua, bagaimana dengan double room?"

Setenang riak air di muara, ekspresi Ify bertahan dengan senyum minimalis. "Kalau begitu yang twin room, apa masih tersedia?"

"Sepertinya juga sudah sold out, namun saya coba periksa dan carikan terlebih dahulu. Mohon tunggu sebentar."

Ketukan pada keyboard putih serta bebunyian berulang dari roda scroll up and down peranti tetikus mengisi jeda Ify. Layar terang komputer yang berkedip cepat seiring pencarian sang penerima tamu terpantul di kacamata half frame-nya.

Kelereng di balik kacamata itu menyipit tatkala menelusuri dokumen dan data-data ketersediaan ruang. Terlihat kesusahan untuk menemukan. Beralih mengintip Rio yang menemaninya dalam hening, hatinya gelisah. Tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera menenangkan pikiran dan beristirahat.

Tautan tangan Ify menarik siku kiri ke pinggang. "Kalau begitu, saya ambil double room saja apa bila tidak ada."

Punggung kecil menegak kemudian membungkuk dua kali. "Ah. Maaf sekali dan terima kasih sudah menunggu. Kamar twin untuk malam ini sudah di-booking full. Apa Mbak benar-benar tidak masalah?"

"Tidak, tidak sama sekali." Senyumnya ditampilkan lebih bersahabat.

"Baik, satu kamar double room." Dia memasukkan nama Ifiana pada kolom tamu di sistem hotel. Sebuah kartu berwarna coklat-putih dikeluarkan.

"Ini keycard-nya, Mbak. Ruang nomor 303 di lantai tiga. Terima kasih."

Dibalas oleh Ify tangkupan telapak sang resepsionis dengan lembut sekaligus turut mengucap terima kasih. Ify menunjukkan satu kartu di tangannnya pada Rio.

"Maaf, hanya ini yang mereka punya malam ini. Semoga kamu tidak masalah."

Selebihnya, hanya anggukan yang tercipta. Bergeming, tidak ada protes yang melayang pada Ify maupun layanan hotel. Lagi pula, bagi mereka tidak akan masalah untuk berbagi ruang. Sungguh, Rio semenjak awal menaruh perhatian pada tumpuan lain.

Bibir lurus Ify, gerak lunglainya, serta rona si gadis yang tak cerah semenjak pemeriksaan itu.

Nit.

Gerimis mulai turun. Rintik-rintik samar-samar terselip ke balik kuncian pintu kamar dengan berbagai fasilitas nan nyaman. Berbanding dengan terbalik dengan suasana yang kurang nyaman dan terlalu senyap antara dua manusia yang menghuninya.

Permukaan kasur memeluk tubuh keras Rio, sementara gadis yang mendampingi betah menonton pemandangan di ketinggian dari sekeping kaca besar.

Ujung jari penunjuk Ify meraba aliran embun dingin yang meluruh. Kilauan lampu mobil merah, putih, dan kuning terbiaskan di tiap tetes hujan yang menempel di jendela.

Suaranya memecah sua yang sempat terbeku. "Kalau sedang seperti ini, kita seperti hidup di kota yang waktunya sudah mati."

Mata berkantung pemuda itu memejam, tetap berguling tak berpindah. "Begitukah."

Tatapan kosong Ify tidak terlepas barang sekali pun dari jalan raya. "Mobil-mobil yang diluar sana terus melaju. Orang-orang tetap sibuk di malam hari. Padahal mereka saling tidak tahu, ada sosok-sosok yang terdiam. Putus asa. Tidak sehidup mereka."

Great Pretenderحيث تعيش القصص. اكتشف الآن