3. H A D I A H W I S U D A ✓

11 9 5
                                    

Balutan kebaya dengan toga melekat sempurna di para mahasiswa yang hari ini akan melepaskan status mahasiswa-nya, sepatu hak, kebaya indah, jas hitam, make up tebal, dan tawa riang menggema saat melakukan sesi pemotretan.

Beberapa dari mereka memilih berfoto dengan keluarga, pacar, atau dengan teman. Senyum bahagia terbit dari perempuan yang sekarang hanya menggunakan toga wisuda tanpa kebaya, ia hanya menggunakan rok tutu berwarna putih dengan sepatu kits dan make up tidak setebal mahasiswi yang ia lihat.

Tidak ada kedua orangtua ataupun saudara yang mengantar, namun perempuan itu tidak merasa berkecil hati sama sekali karena melihat orang lain yang didampingi oleh orang-orang tercinta.

"Bun," panggil lelaki yang tersenyum ke arahnya, dua orang paruh baya menghimpit lelaki itu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa mereka berdua adalah kedua orangtua dari lelaki itu.

Langkahnya bergerak mendekat, tangannya terulur untuk menyalami kedua orangtua itu. Senyum terbit dari keduanya, mereka menerima uluran tangan Embun. Sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak suka ataupun hal yang tidak mengenakkan hati.

Tangan wanita paruh baya itu terulur untuk mengelus pundak Embun, "Apa kabar? Makin cantik aja,"

Perempuan itu tertawa karena mendengar pujian dari wanita paruh baya yang berada di hadapannya, kedua pipinya sedikit memanas. Ternyata efek dari pujian orang tua lebih mempan, dari pada pujian dari seorang lelaki.

Kecantikan wanita itu sedari dulu belum sama sekali luntur, sikap ramahnya, suaranya yang lembut selayaknya seorang ibu, dan kedermawanannya yang tidak akan pernah Embun dan Biru lupakan.

"Pa, ma." panggil Biru sehingga membuat lelaki paruh baya itu menarik kamera handphone-nya dan berhenti mengambil potret. "Biru sama Embun ke sana dulu ya, kayaknya bakal ada foto satu angkatan,"

Keduanya melangkah pergi meninggalkan pria dan wanita paruh baya itu yang sibuk dengan acara ambil gambar berdua, tangan Biru terulur untuk merangkul bahu Embun. Seperti biasa, tidak ada penolakan karena menurutnya hal seperti itu sudah terbiasa. Yang tidak biasa adalah cara pandang mata orang-orang yang menganggap kedekatan keduanya sangat tidak wajar, apa boleh buat? Mereka hanya menyimpulkan apa yang mereka lihat tanpa perduli dengan fakta.

Biru dan embun berjalan di rerumputan hijau belakang universitas, langkahnya berhenti dan mendaratkan bokongnya untuk duduk di atas rerumputan hijau itu.

"Gue gak pernah nyangka sih, kalau waktu bisa secepat ini," Biru mulai membuka percakapan, matanya menatap ke arah mahasiswa-mahasiswi yang tengah asik mengambil gambar untuk dijadikan kenang-kenangan.

Kedua bola mata coklat milik Embun menatap air muka Biru yang terlihat serius, tangannya menarik topi toga di atas kepalanya. "Baru aja kemarin kita rebutan sepatu di tumpukan sampah, sekarang udah wisuda aja."

Embun terkekeh, tangannya memutar-mutar topi yang baru saja ia ambil dari atas kepala Biru. Keduanya terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Kala itu seorang anak kecil berusia sembilan tahun tengah berjalan di atas tumpukan sampah, sudah jadi kebiasaannya untuk mencari barang-barang yang setidaknya masih bisa dia temukan untuk digunakan. Sehingga suara tangisan seorang anak lelaki memecahkan konsentrasi nya.

"Biru," panggil Embun sehingga membuat anak lelaki itu segera berdiri dan menghapus kasar air matanya.

Anak perempuan itu tertawa mengejek karena melihat anak lelaki itu menangis sesenggukan, karena tidak terima lelaki itu memilih mengambil sepatu hitam yang sedikit robek di bagian depannya dan melemparnya ke arah tumpukan sampah. Hal tersebut membuat anak perempuan itu geram dan mendorong kuat bahu Biru, sehingga membuat Biru kembali menangis dan memilih duduk untuk meredakan tangisnya.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang