2. R E D V E L V E T ✓

Start from the beginning
                                    

Perempuan itu menghembuskan nafasnya pelan, pandangannya ia fokuskan ke objek manusia yang baru saja ia khayalkan. Tidak saat menjadi mahasiswa saja, bahkan ketika ia sudah lulus saja dan sudah menjadi dokter tetap menjadi most wanted di fakultasnya.

Setelah melaksanakan praktek, beberapa mahasiswa-mahasiswi itu melangkahkan kakinya keluar ruangan. Perempuan itu memijit pelipisnya pelan  merasa sedikit pusing dengan praktek yang seniornya ajarkan, tangannya bergerak untuk melepaskan jas putihnya. Meraih ransel di ujung meja, memakainya dan jas tersebut ia tenteng.

"Kenapa?" tanya seseorang yang sekarang merangkul bahunya, tidak ada penolakan sama sekali saat lelaki itu merangkul.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar karena tidak menerima respon dari perempuan tersebut, "Bunnn!"

"Embun . . . Panggil nama gue dengan lengkap dong," perempuan itu melepaskan tangan lelaki itu yang masih merangkul bahunya. "Yang gak tahu gue pasti mereka ngiranya gue bunda lu, ongeb!!"

"Embun . . . Di pagi buta . . ." Lelaki itu malah bernyanyi lengkap dengan cengiran khasnya.

Perempuan itu melotot tajam, "Biru anaknya bapak Mahmuddin."

Lelaki yang bernama Biru itu kembali merangkul bahu Embun, membawanya keluar ruangan. Perempuan itu sama sekali tidak menolak akan rangkulan lelaki tersebut, bahkan keduanya sering dibicarakan oleh beberapa mahasiswa namun keduanya sudah kebal dan akan menjaga persahabatan mereka agar tetap utuh.

Keduanya merupakan sahabat sedari kecil, dari mereka hidup di sebuah kampung pemulung sampai saat lelaki itu di adopsi oleh keluarga cukup dalam hal ekonomi. Setidaknya Biru tidak kekurangan makanan setelah mengikuti keluarga barunya, namun lelaki itu sama sekali tidak melupakan kulitnya.

Ia akan selalu ingat dimana ia menghabiskan masa kecilnya selama lima tahun di tempat kumuh tersebut, bahkan di tempat itu juga kedua orangtuanya memilih meninggalkanya di tumpukan sampah.

"Bir," Panggil perempuan itu.

Lelaki itu berdecak, "Bun-bun, stop call me Bir..Birrr," matanya menatap tidak suka sedangkan tangannya semakin kuat merangkul bahu perempuan itu. "Orang yang gak tahu nama gue Biru, ngiranya lu lagi minta Bir,"

Keduanya tertawa hanya karena masalah persoalan panggilan nama, langakah keduanya menggema di koordinator fakultas kedokteran yang bisa dibilang cukup sepi.

"Pusing banget gue mikirin skripsi," Perempuan itu akhirnya memberi tahu permasalahan yang sedari tadi ia pikirkan.

Suara tawa renyah terdengar ditelinga pendengaran perempuan itu, "Aduh, jangan mikirin itu dulu deh! Gue juga cape banget harus berhubungan dengan guru botak itu, dikit-dikit revisi, dikit-dikit coret sana sini, dikiranya bikik kayak gitu gak pake duit apa?!" lelaki itu ternyata bernasip sama.

"Birr, tukeran otak dong gue udah capek." perempuan itu memegang kepalanya seolah akan memindahkan otak dari dalam kepalanya ke kepala lelaki itu.

Perempuan itu sedikit terhuyung kebelakang saat ia akan meletakan tangannya di atas kepala lelaki bernama Biru itu, kepalanya mendongak karena tarikan tangan yang sangat kuat di rambutnya.

"Aww," rintih Embun saat jambakan di kepalanya terasa sangat nyeri.

Lelaki bernama Biru itu kaget saat menyadari seseorang yang ia kenali kini tangah menjambak rambut Embun kasar, tangannya terulur untuk membantu Embun keluar dari amukan macan betina di hadapannya.

"Amara!!!" hadrik Biru, suaranya menggema di lorong tersebut sehingga menyita berbagai mata mahasiswa yang baru keluar kelas.

Perempuan yang dipanggil Amara itu melepaskan tangannya, matanya menyorot mata lelaki itu kecewa. Kedua bola matanya memerah karena menahan amarah dan tangis karena Biru yang menyandang sebagai kekasihnya sudah membentaknya di depan umum.

BERTAUT RASAWhere stories live. Discover now