Pekerjaan gue sebagai pengacara pun seringkali berurusan sama agenda perceraian yang alasannya macem-macem, padahal dulu mereka menikah pake cinta.

Semua itu bikin gue yakin, kalau pernikahan cuma bakal bikin cinta memudar seiring dengan berjalannya waktu. Cinta yang disanjung-sanjung dan bersifat segalanya waktu pacaran, ternyata nggak bisa tuh jadi landasan pernikahan bisa bertahan.

Kalau menikah justru bikin gue bisa kehilangan Lintang, mending nggak, deh. Gue yakin kok, bisa bikin dia bahagia tanpa embel-embel pernikahan.

"Elo tuh aneh banget, Res. Sumpah, deh." Kali ini, Restu berdecak sangat jengkel. "Kenapa juga lo harus takut sama sesuatu yang belum tentu kejadian?" cebiknya. "Bertahan atau enggaknya sebuah hubungan itu tergantung cara tiap orang ngerawatnya. Harusnya, lo bersyukur kalau hubungan-hubungan gagal yang ada di sekitar lo itu bisa lo bikin jadi pelajaran biar nggak keulang lagi di hubungan lo. Mikir deh, Res. Selama lo pacaran sama Lintang, kalian nggak pernah ribut apa? Pasti ada, kan? Nah—"

"Nggak pernah," potong gue cepat.

"Bohong lo, Bangke!"

"Serius! Baru kali ini kami putus komunikasi beberapa hari. Biasanya gue emang nggak pernah ribut sama dia," yakin gue. "Paling juga dia cuma ngambek-ngambek biasa, ya habis itu baikan lagi. Udah."

"Dan lo masih aja mikir buat nikahin cewek nggak rese kayak si Lintang?" Restu menggeleng-gelengkan kepala sambil masang muka nggak habis pikirnya. "Udah deh, gue tikung lo aja. Daripada—ah, Sialan! Sakit!!" Dia mengusap-ngusap belakang kepalanya yang habis gue pukul. Kesal juga sama celetukan asalnya.

Temen sialan emang!

"Ya, lagian lo tuh sakit, deh! Ke psikolog sana! Overthinking lo soal pernikahan udah nggak wajar."

Gue terdiam, lagi.

Apa iya gue sampai harus ke psikolog segala? Nggaklah!

"Elo aja nggak nikah-nikah, malah nyuruh gue ke psikolog cuma karena pemikiran gue!"

"Gue belum nikah karena belum ketemu sama cewek yang pas buat gue jadiin istri," sahutnya malas. "Beda sama lo! Udah dikasih cewek cakep, kerjaan bagus, nggak neko-neko, masih aja guoblok!"

"Tai lah!"

Restu tertawa kecil. "Intinya, jangan gantungin Lintang, Res. Dia berhak bahagia, entah itu bareng sama lo atau enggak. Gitu aja saran dari gue."

Tapi gimana kalau gue yang emang nggak akan bisa lepasin dia?

Hah!

+=+

Gue masih termenung memikirkan apa yang baru aja gue lakukan ke Lintang. Tadi akhirnya, setelah lebih dari seminggu kami nggak berkomunikasi, gue meminta ketemu—tindakan yang gue dapate dari hasil obrolan singkat gue sama Restu. Sayangnya, pembicaraan kami nggak berlangsung baik. Gue marah saat Lintang dengan gampangnya minta putus kalau bulan ini gue nggak datang ke rumahnya buat melamar dia.

Gila, kan!

Nggak tahu apa sebenernya yang lagi ada di pikiran Lintang akhir-akhir ini sampai bisa ngambil keputusan kayak gitu. Sialan banget!

Tapi lebih sialannya lagi waktu gue nggak bisa tahan emosi dan justru membalas omongan dia dengan kalimat jahat. Sangat jahat.

Pikirin lagi, Lin, kita udah sejauh apa. Kamu mau bilang apa sama cowok yang jadi suami kamu nanti kalau ternyata dia bukan yang pertama buat kamu? Nggak malu kamu?

Gue merasa sesak kalau ingat matanya yang berkaca-kaca tadi. Lintang emang nggak marah, bahkan nggak bersuara apa pun lagi setelah gue ngomong kalimat tadi. Dia langsung pergi dan gue yang masih mematung jelas terlalu terlambat buat mengejar dia yang udah pergi.

Our StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang