Bab 6

361 28 4
                                    

🌹🌹

"Aku bener 'kan, Han?"

Hana meringis. "Gimana kamu nebak kalau itu aku, Ta?"

"Sebentar." Meta menghentikan langkah Hana. "Jadi, itu beneran kamu?" Mata bulat ini makin semringah. Anggukan kecil Hana kemudian makin membuatnya terkejut.

"Astaga, Hana, hal sebesar ini kamu nggak bagi cerita ke aku sih?" Meta memeluk Hana sambil menggoyang-goyangkan tubuh temannya itu gemas.

"Tapi jangan bilang-bilang, ya, Ta. Ini masih rahasia."

Cepat Meta melepas peluk. Wajahnya langsung heran. "Emang Radit nggak tau? Ampun, kalian nggak lagi ada masalah 'kan?" Ia menarik Hana minggir ke sisi parkiran, membuat Sky di sana mengerut kening melihat keduanya.

Tatapan penuh rasa ingin tahu Meta membuat Hana tersenyum. "Kami baik-baik aja, Meta. Cuman aku masih rahasia'in karena ini menurut aku biasa aja."

"Biasa? Menurut kamu biasa? Jadi penulis di rubrik majalah nasional seperti Kartina itu bukan hal biasa, Hana! Pliss, deh, jangan terlalu merendahkan dirimu."

"Ssst! Meta ih, ntar didengar orang ...." Mata Hana melihat sekitar sambil menyisipkan anak rambut ke sisi telinga.

"Kamu kenapa? Apa ada hal yang nggak aku tahu? Selama ini kamu terlihat baik-baik aja. Ternyata ada yang kamu sembunyiin, ya?" Wajah Meta mendekat, seolah ingin menelan Hana.

"Ta ... maaf ya, nggak semua harus aku cerita-"

"Jadi beneran kamu sama Radit ada masalah?"

"Bukan sama Radit-"

"Lalu?"

Hana menghela napas panjang.

"Orang ketiga? Radit selingkuh?"

Mata Hana membulat sambil menarik hidung mancung Meta. "Naudzubillah omongannya. Kamu tau siapa yang nggak respek sama derajat aku yang orang biasa bukan?"

Meta melongo sejenak, lalu mengangguk. "Ohh, mereka. Aku tau walo kamu nggak pernah cerita."

"Hemm, udah cukup, ya, asal tau aja dan ini ... rahasia kita berdua." Hana gantian menatapnya curiga. "Kok, bisa sih kamu tebak itu aku?"

"Itu aku kan biasa hafal gaya bicara kamu yang tenang. Rubrik asuhan kamu rame juga, ya? Apa banyak yang curhat begitu? Kok, bisa sih? Sejak kapan?"

"Ish! Banyak banget nanyanya."

"Habisnya aku penasaran, Han. Ini kerjaan nggak semua orang bisa loh."

Hana menyisir rambut panjangnya dengan jari. "Iya, sih, tapi kan kerjaan aku belum setara sama Mas Radit. Kami-"

"Stop!" Bibirnya dibekap telapak Meta. "Jangan pernah membandingkan diri sama orang lain. Bukankah itu yang kamu bilang di salah satu curhat pembaca, hum?"

Hana tersenyum setelah tangan Meta lepas. "Makanya itu, Ta. Ketidaksetaraan itu akan aku perjuangkan dulu, baru dibuka semua."

"Oh, paham lah kalo gitu. Aku harap semua terbaik untukmu, Hana. Hati kamu baik, pasti Tuhan kasih hadiah terbaik juga. Sabar ya sama Tante Mir, memang begitu dari sononya, heheh."

Usai pembicaraan cukup lama di parkiran itu Hana pun pamit. Sebentar lagi maghrib. Ia harus ada di rumah meski suami akan seperti biasa pulang menjelang tengah malam.

🌾🌾

Ruang kerja Radit ada di sisi lain kamar, menyambung dengan pintu kaca ke sana. Rutinitas Hana usai shalat Isya adalah menelepon ibunya sekitar 15 menit, lalu ke ruang ini dan duduk di sofa panjang. Tentu sebelumnya sudah mengambil laptop.

Di awal nikah suami membeli laptop baru, dan bekasnya ini diberikan pada Hana. Untuk hiburan, kata Radit saat itu. Awalnya Hana tak tahu digunakan untuk apa selain menonton youtube, hingga ia menemukan chanel cara membua sketsa digital.

Pekerjaan dari lulus SMA hingga sebelum menikah adalah di sebuah rumah menjahit. Hana biasa melihat gambar disain karena ia sempat di bagian memotong bahan di tahun akhir kerja. Menjahit dan memotong adalah ilmu yang diajarkan oleh sang pemilik. Ilmu selama 4 tahun kerja masih melekat di kepalanya. Hanya saja Hana belum pernah membuat gambar desain.

Di ruang ini lah ia berlatih kala tidak ada pekerjaan rumah. Beberapa desainnya tersimpan rapi di file, sebagian belum diwarnai polanya. Namun, karena laptop ini juga Hana malah terjun ke pekerjaan lain yang tak ia sangka.

Karena sering mencurahkan hati dalam tulisan, lalu amat tertarik membaca dan menonton tentang hal yang berkaitan dengan psikologi. Ia ingin sedikit membantu orang yang mengalami masalah dengan kalimatnya. Hana bergabung di sebuah grup psikologi remaja di media sosial, ia banyak menjawab curhatan, juga menyebar email jika ada yang membutuhkan bantuan secara pribadi.

Siapa sangka pemilik grup itu malah mengirim surel padanya, menanyakan beberapa hal, lalu memintanya mengirimkan data diri. Ternyata nasib baik berpihak padanya. Orang itu pemilik redaksi sebuah majalah besar, dan mulai empat bulan lalu Hana resmi bergabung memegang rubrik suara pembaca dengan nama pena singkatan namanya juga ibu bapaknya. Tak disangka juga Meta malah tahu itu adalah dirinya.

Meski gaji belum wah, tetapi cukup menghasilkan.

Setengah Sembilan malam Hana baru beranjak, ia sudah mengecek pekerjaan sebelum jadi antrean untuk siap publish.

Ia ke dapur untuk mengambil minum, tetapi suara pintu menahan langkahnya di ruang tengah.

Apa Mas Radit pulang cepat?

Langkah kakinya mengarah ke ruang depan. Tak lama pintu terbuka, Radit memijit pelipis sambil menutup pintu.

"Assalamualaikum, Sayang ...." Suara lemah Radit saat melihatnya.

"Waalaikumussalam." Hana sudah mendekat dan mengambil tas juga jas suami. "Mas kenapa ...?" Ia menempel punggung tangan ke kening suami. "Panas, Mas ...." Tangan Radit langsung digenggam untuk diarahkan ke kamar.

"Mas tadi sebenarnya pulang habis magrib ... tapi ketemuan dulu sama Tama ...."

"Iya, Mas. Mas sudah makan belum?"

"Sudah ...." Dua tangan Radit memegang kepala saat duduk di ranjang.

"Mas sakit kepala juga?"

"Sedikit, Sayang ... kamu peluk aja bisa sembuh ...."

"Minum obat dulu, baru Hana peluk."

Dengan telaten ia membuka kaus kaki, celana, juga kemeja Radit, menggantinya dengan pakaian tidur. Mencuci tangan suami dengan sanitizer, lalu memosisikan setengah duduk untuk Radit minum obat. Usai itu, Hana berbaring di sebelah suami.

Obat yang paling mujarab saat Radit sakit adalah pelukan. Hana mendekap tubuh gagah itu dalam dada.

"Mas sayang kamu, Hana ... mas sayang kamu ...." Radit melingkari pinggangnya erat, seakan takut ia pergi.

"Hana juga sayang Mas Radit ...." Jarinya mengusap lembut kepala pria yang menyuruk ke dadanya.

"Maafkan Mama ... Mama hanya belum terketuk hatinya ... kamu tetap percaya mas sayang kamu ...."

Bola mata Hana memanas. Apa suaminya tahu tadi mertuanya ke sini? Oh, sungguh itu tekanan juga untuk suaminya ini.

"Mas ... Hana sering bilang 'kan Mas jangan banyak pikiran ... Hana nggak apa-apa. Hana nggak pernah juga meragukan cinta Mas Radit."

"Terima kasih, Sayang ... sebenarnya, mas mau tanya juga dari mana kamu makan rendang tadi siang ... tapi mas mau tidur dulu ... jawabnya besok saja, ya?"

Senyum Hana terbit meski air matanya jatuh juga. "Iya, Mas ...." Ia mengecup lama pucuk kepala suaminya ini, lalu mendekap Radit erat-erat.

🌾🌾

MEMBUNGKAM HINAAN KELUARGA SUAMI DENGAN KESUKSESANWhere stories live. Discover now