Bab 4

400 33 9
                                    


🌹🌹

"Mana dia?!"

"Ada di depan, Ma ... baru nyampe."

"Suruh cepat ke sini!"

"B-baik, Ma." Sebenarnya Dewi ini mudah takut melihat kemarahan sang mama. Sekarang saja telapak tangannya dingin. Entah kenapa, sejak kecil ia memang mudah gugup. Meski di luar berusaha menampakkan dirinya kuat.

"Mas, Mama nunggu di kamar," ujarnya pada pria berkemeja putih yang tengah melangkah masuk ke ruang keluarga.

Jadi Mama suruh ke sini karena ada yang mau dibicarakan.

Sesaat Radit tertegun, ia paham kalau mamanya mau bicara di kamar. Tempat yang biasa dulu saat kecil hingga remaja mereka dihukum, jika bersikap tak sesuai dengan keinginan wanita itu.

"Yasudah mas ke sana."

"Mas ..." Dewi menggigit bibir bawahnya. "mm, Mas Tama juga mau ngomong nanti."

Radit menatap mata adiknya itu sendu, lalu tersenyum kecil. "Iya. Suamimu di mana?"

"Di lantai atas, Mas."

"Oh, oke. Nanti mas ke sana," sahutnya sambil melangkah ke arah kamar utama. Kamar Miranda.

Radit masuk setelah mengetuk pintu. Ruangan dua kali lipat lebih luas dibanding kamar lain. Tampak wanita berambut seleher dengan dua rol besar baru dilepas, bertepatan putra keduanya itu masuk.

"Duduk," perintah wanita beralis melengkung indah itu singkat. Radit mengikuti dengan gerak tenang. Duduk di depan sang mama, di bagian sisi kamar yang menyerupai ruang santai. Dua sofa besar berukir, lengkap dengan meja kaca persegi tiga dimensi.

"Kamu itu anak mama, harusnya ketegasan mama menurun padamu." Miranda memulai, dan Radit dalam sikap takzim mendengarkan.

"Apa kamu sudah menegur istrimu itu?" pertanyaan yang disertai tatapan mata menyelidik.

"Sudah, Ma."

"Sudah? Hem, aku tidak yakin." Ada senyum tipis tertarik pada bibir berlipstick pink pucat itu. "Apa dia pakai uang perusahaan untuk ke salon? Apa kamu tidak menuruti mamamu ini kalau uang untuk istrimu itu cukup 20 ribu saja!"

Radit dalam diam meredam rasa panas di wajah dan dadanya. "Ma, Hana ke salon dengan uang simpanannya-"

"Uang dari mana?! Dia bahkan cuma bawa bada menikah denganmu!"

"Uang puluhan ribu yang Radit kasih Hana tabung, Ma. Selama berapa bulan, atau mungkin setahun ini dia simpan."

Mata ibu dan anak itu beradu dalam beberapa detik. "Jadi, cuma dengan uang 20 ribu sehari dari kamu dia masih bisa nabung? Kamu pikir mama percaya?"

"Ma-"

"Siti datang mencuci ke rumahmu pakaian kotor dalam keadaan siap di keranjang cucian. Sudah pasti isi kantungmu sudah dia jarah! Kemu itu kan termasuk pelupa."

"Tolong Mama jangan berpikir begitu tentang Hana." Rahang Radit mengerat. "Justru Siti pernah nemu uang di saku Radit dan dikembalikan."

Miranda tertawa sinis. "Itu karena Siti jujur. Bagaimana dengan istrimu? Apa dia pernah mengembalikan uangmu?"

"Hana nggak pernah ngecek saku-"

"Kamu yakin? Apa kamu melihatnya, Raditya Pradipta?" Ditekan begitu Radit terdiam.

Memang ia tak pernah melihat, tetapi hatinya yakin Hana sangat jujur. Bahkan lebih jujur dari Siti, si ART mamanya yang tiap hari dikirim ke rumah untuk membantu pekerjaan Hana, juga membawa sayur dan ikan secukupnya per hari. Sebab, uang dapur Radit dan Hana juga Miranda yang kendalikan.

MEMBUNGKAM HINAAN KELUARGA SUAMI DENGAN KESUKSESANWhere stories live. Discover now