°°°

"Keren-keren, kan hasil jepretan Anin."

Sebuah kalimat dengan intonasi penuh rasa percaya diri diungkapkan Anin pada ibunya. Kini mereka tengah asik bercengkrama seraya menonton televisi.

"Tumben gak ada foto novel, biasanya itu yang jadi bintang utama," cetus Arini saat sang putri tengah menunjukkan ratusan foto yang ada di dalam kameranya.

Wajah sendu seketika ditampilkan. "Novel Anin hilang, Ma. Ketinggalan di kereta," adunya.

Arini mengerutkan keningnya. "Kamu itu bukan seorang pelupa, kecuali kalau sedang gugup, kamu pasti grasak-grusuk. Gugup kenapa emang?"

Anin tak langsung menjawab, dia memikirkan kalimat yang pas agar sang ibu tidak berpikir ke mana-mana tentang kejadian di kereta beberapa hari lalu. Bisa malu tujuh hari tujuh malam kalau ibunya tahu tragedi itu.

"Astagfirullah, Anin! Sejak kapan kamu berani ambil foto cowok kayak gini. Allahuakbar ini siapa? Meni kasep kieu Gusti! [1] Punya pacar kok gak bilang-bilang, Mama," cerocos Arini kala mendapati bingkai seorang pria yang tengah duduk di kursi kereta.

Walau hanya terlihat dari sisi samping dan tidak begitu jelas wajahnya karena jarak pengambilan gambar yang cukup jauh. Tapi dia yakin, bahwa pria misterius itu cukup tampan.

Mata Anin membola tak percaya, dengan cepat dia merebut kamera tersebut. Seingatnya dia tak pernah memotret seorang pria, pasti itu hanya sebuah ketidaksengajaan saja.

Anin menggigit bibir bawahnya saat melihat foto yang ditunjukkan sang ibu. Debaran di dadanya seketika berdetak tak seirama. Kenapa bisa dia memotret seorang pria tanpa izin? Dan parahnya dia tak menyadari akan hal itu.

"Kamu ke Yogyakarta sama pacar kamu?"

"Astagfirullahaladzim, Mama ini ngaco! Anin gak punya pacar!" belanya.

"Bohong!" cerca sang ibu tak percaya.

Anin menggeleng kuat dan berucap, "Beneran, Anin gak bohong, Ma. Mungkin itu gak sengaja kebawa saat Anin ngambil gambar."

Arini mendelik tak percaya. Menelisik tajam kedua bola mata sang putri yang terlihat memutar resah ke sana-kemari.

"Apa jangan-jangan kamu naksir dia yah? Makanya kamu diam-diam ambil gambarnya?"

"Astagfirullahaladzim, buat apa Anin ngelakuin itu coba, Ma? Serius itu pasti gak sengaja masuk kamera. Anin cuma mau ambil pemandangannya aja, coba deh Mama perhatiin lebih jelas lagi," terangnya memberi penjelasan.

Di sana memang terlihat jelas hamparan persawahan yang hijau dan luas, sedangkan pria yang ikut serta dalam foto hanya sebagian kecil saja, itu pun tampak samping dan sedikit buram.

"Gagal punya mantu kasep atuh kalau kayak gini ceritanya mah," oceh sang ibu yang dihadiahi putaran bola mata malas dan dengkusan kasar.

"Anin masih muda, belum ada niatan buat nikah," katanya tegas.

"Masa?" Alis sang ibu terangkat satu.

Anin mengangguk mantap. "Iya, Anin masih mau mengembangkan kafe Anin. Belum kepikiran ke sana."

Terhitung sudah dua tahun Anin merintis sebuah kafe yang berada di jalan Braga, berjejer rapi dengan pelaku usaha lainnya. Setelah lulus kuliah dia tidak berminat untuk bekerja di perusahaan orang, dia lebih tertarik untuk membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Meskipun kecil, tapi dia yang bertindak sebagai pemiliknya, bukan karyawan yang harus tunduk patuh terhadap atasan.

"Gak kabita gitu lihat temen-temen kamu yang udah nikah, punya anak, dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya?"

"Anin lebih kabita lihat mie ayamnya Mang Darsa," sahut Anin acuh tak acuh.

"Makanan mulu yang ada di otak kamu."

"Biarin, daripada Mama, calon mantu mulu yang ada di pikirannya. Kayak gak ada yang lain aja!"

"Mama sama Ayah itu khawatir sama kamu, kamu itu anak gadis satu-satunya tapi hobi banget buat orang tua cemas karena hobi trapeling kamu. Setidaknya kalau udah ada suami, ada yang bisa dampingi dan jagain kamu," tutur Arini seraya mengambil kedua tangan Anin dalam genggaman.

Rata-rata orang Sunda kesulitan dalam melafalkan huruf f dan v, mereka menyebut kedua huruf itu sebagai p, hal itu pun berlaku bagi Arini. Travelling saja disebut trapeling, terdengar sangat lucu di telinga.

"Jangan mulai dong, Ma," sela Anin sembari melepaskan genggaman sang ibu. Dia tak nyaman jika ibunya sudah membahas perihal pasangan.

"Pergaulan zaman sekarang itu mengerikan, apalagi kamu gemar pergi ke kota orang, sendirian pula. Kalau Mama temani kamu selalu menolak, dan keukeuh pergi seorang diri, mana kalau liburan hape sengaja kamu matikan lagi. Mama gak bisa mantau kamu selama 24 jam, Anindira Maheswari," jelas Arini selembut mungkin.

Anin bukan termasuk pribadi yang selalu menghabiskan waktunya bersama dengan benda pintar persegi panjang tersebut. Bahkan saking tak pedulinya, dia bisa membiarkan gawai itu tergelak di sembarang tempat.

Ponsel hanya dipergunakan kala dia hendak bertukar pesan saja, itu pun tidak setiap saat. Terkadang jika ada pesan masuk, dibalas dua hari berikutnya atau bahkan lebih. Bukan sengaja mengacuhkan, tapi memang Anin jarang memegang gawai.

"Ya udah nanti kalau sempat Anin cari di shopee yah, Ma, siapa tahu bisa pre-order calon mantu plus gratis ongkir di seluruh Indonesia."

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Jumat, 26 Agustus 2022

Note :

[1]. Meni kasep pisan = Ganteng banget.
[2]. Neng/Nyai = panggilan untuk anak perempuan.
[3]. Kabita = Memiliki arti mau.

Sampai di sini apakah masih ada yang menunggu? Terima kasih sudah mampir yah 😊

Renjana حيث تعيش القصص. اكتشف الآن