— R&R —

Setelah diperbolehkan pulang oleh Lydia, malamnya, Ranu mengantar Raline pulang ke kediaman Daniel. Karena situasi mereka yang saat itu masih pura-pura bertengkar jadi niatnya Ranu akan langsung pergi. Tapi bila dipikir-pikir lagi, Ranu tak ingin berpisah dari Raline. Akhirnya, atas dasar rasa inginnya itu, mereka berdua mengendap-endap masuk ke kamar Raline yang berada di lantai dua. Beruntung, malam telah menunjukan waktu larut, dan saat itu sedang gerimis kecil sehingga para penghuni rumah makin pulas tidur di tempatnya masing-masing.

"Sebenarnya kita bisa pesan kamar hotel saja, jadi tidak perlu mengendap-endap seperti tadi. Untung Ayah sama Mom sudah tidur, coba kalau tadi kita kepergok, pasti akan terjadi kekacauan," ucap Raline sambil menunduk dan memainkan karet rambut di tangannya.

Walau jam dinding sudah melewati tengah malam, Raline masih belum juga diterjang kantuk. Padahal, sesampainya mereka dalam kamar, Ranu sudah beberapa kali mencoba membuatnya tidur agar bisa beristirahat. Namun usahanya selalu gagal. Hingga akhirnya ia menyerah dan memilih duduk bersama wanita itu.

"Kamu sudah beberapa hari tidak tidur di rumah, ayahmu pasti akan cemas kalau  tidak menemukanmu ada di kamar lagi." sahut Ranu ringan dengan suara rendahnya.

Raline menganggukkan kepalanya setuju. Ia mengembalikan pandangannya ke depan, menerawang bebas.

"Ini sangat menyenangkan," ucapnya, tiba-tiba.

"Apanya?" tanya Ranu, "Mengendap-endap ke rumah sendiri seperti kekasih gelap maksudmu?"

Raline berdecak, "Bukan itu," katanya.  "Maksudku, mempunyai ayah yang menungguku pulang rasanya sangat menyenangkan. Aku masih tidak percaya bisa bertemu dengannya lagi."

Kepala Ranu mengangguk-angguk, "Hanya itu saja yang menyenangkan?"

"Ya, apalagi?" Sahut Raline santai, agak membuat Ranu sedikit dongkol.

Ranu menghela napas panjang, "Yasudah, kalau kamu tidak senang punya suami setampan dan sekaya aku, aku pergi saja."

Raline terkikik kecil ketika Ranu benar-benar beranjak dari duduknya, "Just kidding. Of course my biggest gratitude is having you as my husband."

Ranu merasakan pipinya merona lalu kembali duduk. "Nah begitu dong. Suamimu ini harus jadi nomor 1, baru setelah itu kamu bisa mendaftarkan hal lain sebagai sumber kebahagiaanmu."

Raline tergelak lagi, "Baiklah, aku mengerti sekarang. Biar kuulang."

"Aku bahagia karena suamiku tampan dan saaaaaaaaangat kay--"

"Ralat," Potong Ranu. "Harusnya sangat tampan dan sangat kaya. Ulangi."

Raline berdecih, "Ya sudah. Aku ulangi lagi."

" Aku sangat bahagia punya suami yang saaangat tampan dan saaaaaangat kaya."

Melihat Ranu terlihat puas Raline melanjutkan lagi dengan riang, "Lalu, aku juga bahagia punya ayah, mommy, dan juga an---"

Sejurus kemudian, Raline tersadar hampir mengucapkan sesuatu yang belum yakin bisa Dia sampaikan sekarang.

"Anak anak!" Celetuk Ranu yang mana membuat kedua mata Raline hampir copot saking syoknya.

Astaga! Bagaimana Dia bisa tahu?!

"Kenapa ekspresimu begitu? Aku berpikir setelah semua ini selesai kita bisa hidup bahagia dan memiliki anak-anak. Bukankah kamu juga tadi akan mengadakan itu?"

"Eh?" Raline tergugu, "Ah Ya! Tentu saja! Anak-anak! Kita harus punya banyak anak!" Ucap Raline.

Ranu tersenyum lebar melihat Raline yang sangat bersemangat. Tadinya Ranu khawatir Raline akan sensitif dengan obrolan anak mengingat mereka berdua pernah gagal menjadi orang tua di masa lalu. Tapi sepertinya sekarang Ranu tidak perlu mengkhawatirkan itu lagi.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEWhere stories live. Discover now