4. I Always Remember You

Comenzar desde el principio
                                    

"Jangan terlalu formal denganku, kau bisa memanggilku Mingyu. Aku bisa membantumu pulang kalau kau mau." Mingyu berdiri mengamit lengannya.

Ada perasaan panik. Wonwoo masih belum tahu apakah Mingyu orang yang baik atau itu hanyalah topeng yang sering digunakannya. Firasatnya mengatakan ia baik tapi ada sesuatu hal yang mengganjal.

"Kenapa diam saja? kau tak apa? Apa kau berpikir aku orang jahat?" Tepat sasaran. Wonwoo mendangak memandang matanya, apakah pria ini bisa membaca pikkiran seseorang?

"Tenang saja aku hanya ingin menolongmu. Atau kau ingin aku panggilkan taksi saja?"

"Tidak perlu. Kalau begitu antarkan aku ke apartmen di jalan Namdong." Tertatih keduanya berjalan, setidaknya berdua lebih baik daripada sendiri. Wonwoo tidak tahu mengapa ia mempercayai Mingyu. Ataukah ia hanya ingin lebih mengetahui pria itu lebih dalam.

 Semilir angin memasuki pori-pori. Angin juga menebarkan aroma pinus dari pria di sebelahnya, sangat menenangkan dan memberinya sebuah keberanian.

Tersisa lima ratus meter untuk sampai ke apartemen, Wonwoo sedikit bimbang apakah ia harus mengajak Mingyu masuk ke dalam atau menunggu di luar sampai dia pergi. Namun Mingyu sudah menyelamatkan nyawanya, sangat jahat jika ia menyuruhnya pulang begitu saja.

"Seharusnya kau pulang menggunakan bis atau taksi. Nantinya akan sakit jika berjalan sejauh ini." Mingyu memecah keheningan.

"Tidak apa, besok pekerjaanku libur. Berjalan seperti ini akan membantuku untuk cepat tertidur."

"Tertidur?"

"Ya. Kau tahu kan—insomnia akut. Biasanya saat matahari sudah muncul aku baru bisa tidur. Akan sangat menderita kalau besoknya harus bekerja sedangkan kau sama sekali tidak beristirahat. Jadi apabila lelah karena berjalan jauh biasanya aku langsung tertidur." Menjadi terbuka dengan orang lain merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Serangan insomnia yang dideritanya selalu datang  bahkan di saat tubuhnya lelah,  masih  tidak diizinkan tidur. Wonwoo mencari tahu berbagai cara agar insomnianya dapat terkalahkan dan berolahraga dengan cara apapun dapat mengatasinya. 

Selama perjalanan entah hanya perasaan atau memang benar adanya bahwa  mereka dilihat oleh banyak pasang mata. Ia tertunduk malu. Apa sekiranya yang mereka pikirkan tentangnya, wajah babak belur yang sedang dibopong. Apakah mengira mereka pasangan penjahat yang habis kalah dalam perkelahian? Wonwoo membenci situasi seperti ini. Cukup urus saja urusan mereka dan jangan memasang wajah penghakiman seperti itu.

"Ada apa?" Mingyu bertanya.

"Apa kau tidak merasa kita sedang diperhatikan orang-orang? Aku membenci mereka yang menatapku seperti itu seakan melihat hal yang menjijikkan." Wonwoo yakin tidak ada yang salah dari mereka selain wajahnya yang membengkak. Mingyu merangkulnya di pundak dan apa yang salah dari semua itu? Tawa renyah terdengar dari pria di sampingnya. Tawa ramah dan tanpa paksaan. Berapa kali ia dapat mendengar tawa ketulusan dari seseorang? Mungkin hanya hitungan jari. Semua tawa di dunia bahkan dibalut dengan kepura-puraan.

"Jangan pedulikan mereka. Bukankah mereka semua seperti itu?" Dalam hati ia bertanya apakah Mingyu pernah ditertawai atau ditatap dengan pandangan sinis? Jelas sepertinya tidak. Wajah seperti itu akan didamba bukan dihina. Lalu seperti apa kehidupannya?

"Apa yang kau kerjakan di rumah?" Reflek Wonwoo bertanya. "Aku tidak tahu tapi aku merasa selama dua hari ini kita sering bertemu. Apa hanya sebuah kebetulan?" Ia memang merasa penasaran sejak kemarin yang ada di otaknya adalah lelaki itu. Ataukah dampak yang ditimbulkan dari pertemuan pertama mereka memberikan kesan yang mendalam, ia tak tahu.

"Kau benar juga, tapi sepertinya jelas hanya sebuah kebetulan. Beruntung aku sedang lewat di jalan tadi jadi aku dapat membantumu. Untuk pekerjaan aku bekerja menjadi perobek karcis di bioskop. Pekerjaan yang sangat menguntungkan." Wonwoo mengangguk. Ada rasa tidak percaya, wajah tampan seperti itu seharusnya menjadi model papan atas bukan hanya perobek karcis di bioskop. Untuk saat ini ia menyetujui apa kata Mingyu bahwa setiap pertemuan mereka hanyalah sebuah kebetulan. Sisa perjalanan mereka habiskan dengan dengung angin yang menjadi penghantar keduanya. Keduanya tiba di depan gedung bobrok berlantai sepuluh.

"Ini tempat tinggalku. Apakah kau mau ke dalam—eh?" Ia menjadi kikuk. Sama sekali ia tidak berharap Mingyu menyetujuinya. Walaupun kenyamanan tercipta dari pria itu tapi rumahnya adalah tempat dimana ia aman dari manusia. Tempat dimana kesendirian adalah surga kecilnya. Mingyu melepaskan rangkulan, beberapa saat ia terdiam dan jawaban yang diberikan cukup melegakan. "Sepertinya aku akan langsung pulang. Tapi apa kau yakin bisa berjalan sampai kamarmu?" Wajah khawatir Mingyu menghangatkan perasaannya. Ia melirik jam di sudut jalan yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Ada lift di dalam. Nanti justru kau yang pulang kemalaman. Terima kasih banyak atas bantuannya." Wonwoo menundukkan tubuh sembilan puluh derajat.

"Jangan sungkan. Aku senang membantumu. Kalau begitu aku pergi dulu." Mingyu menepuk pundak Wonwoo. Beberapa saat ia tidak tahu apa yang merasukinya, ketika beberapa langkah pria itu berjalan Wonwoo mengeluarkan kata-kata yang seperti bukan keluar dari mulutnya.

"Jika suatu saat kita bertemu lagi apa kau masih mengingatku?"

"Tentu saja. Aku akan selalu mengingatmu."


TBC


A/N: I really enjoyed  write  this chapter. I hope you all enjoying this chapter  too^^ Maaf kalau terlalu singkat tapi udah 1k words lebih mungkin udah cukup lah ya, hehe. Setelah membaca jangan lupa tinggalkan jejak ya. See you >_<

ANOTHER • Meanie (On Going) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora