PROLOGUE

258 22 0
                                    

Tetesan darah tak henti hentinya mengalir dari kulit putih yang sekarang sudah ternodai dengan warna merah, kaki yang juga sudah melemah namun masih nekat untuk mengambil sebuah langkah yang cukup berat, menghampiri sosok yang bahkan sudah tidak ada di hadapan mataku.

Ya, benar, sosok itu sudah pergi bersama musuh yang paling aku benci, sosok yang seharusnya bersama ku sampai akhir. Sosok yang seharusnya menemani ku berdiri melawan masa depan yang cukup menyeramkan bagi ku. Seharusnya sosok itu masih berdiri dan meremehkan ku karena kelemahan ku yang seperti ini.

Aku terjatuh karena sebuah batu yang aku tak sengaja injak, tubuh lemah dan tak berdaya tersungkur begitu saja. Mata ku terasa panas, dan air yang menggenang di kelopak mata, aku tidak ingin mengeluarkannya, aku tidak ingin meneteskan air itu. Karena, untuk apa?

Perasaan sesak seperti sehabis terpukul oleh suatu beban yang begitu berat, sehingga aku kesulitan bernafas. Walaupun aku mencoba keras untuk tidak meneteskan air mata itu, namun tetap saja, ia mengalir sendirinya menandakan perasaan sedih atas hilangnya sosok itu dari pandanganku.

“Sialan... Aku masih membutuhkanmu, bangsat.” ucapku dengan segala sumpah serapah meskipun tidak terdengar jelas, namun dalam kalimat yang aku ungkapkan terdengar tegas dan terdapat sebuah amarah yang membara.

Anggotaku. Ia datang menarikku dengan kasar untuk bangkit, dan menjauh dari tempat sosok itu menghilang, namun aku memberontak dengan keras.

BUGH!!

Maaf, tapi aku memukulnya.

“DIAM! JANGAN MEMERINTAHKU UNTUK MEMBIARKAN DIA PERGI BEGITU SAJA!!” Aku meraung seperti itu kepada anggotaku, aku marah, aku sedih, aku sakit, aku masih membutuhkannya.

Ia nampak tak berkutik dengan raunganku. Kami menang, bahkan musuh tidak bisa berkutik karena babak belur, mereka terkapar lemah di tanah yang sudah basah karena air hujan tak henti - hentinya menyerbu bumi dengan berbondong - bondong, belum lagi suara petir yang menggelegar juga kilapan cahayanya.

Bagiku, untuk apa meraih kemenangan tetapi salah satu orang terdekatku pergi hanya untuk menang? Itu adalah sebuah kekalahan yang sangat membekas di lubuk hatiku.

“Aku juga merasakan sedih dia pergi. Tetapi, setidaknya musuh benar - benar habis.” ujar sosok yang berkulit tan, luka di mana - mana, surai lepek karena hujan, juga celana bagian lutut yang sudah robek karena sebuah pertarungan.

Aku merasa marah, dadaku bergemuruh seketika hanya karena kalimat yang di ucapkan temanku, aku menarik kerah bajunya. Nafasku tidak teratur karena dadaku terasa sesak. Anggota serta temanku ingin memisahkan diriku darinya. Tetapi cengkraman tangan ku dengan kerah bajunya benar - benar erat.

“Jadi kau lebih mementingkan musuh yang mati daripada temanmu, huh?!!”

“APA SALAHNYA AKU BERKATA SEPERTI ITU?!! Ia tidak akan mati. Kau harus berfikir positif!! Dia kuat, sialan!! Dan, jikalau pun musuh tidak mati, kita akan kalah!!! Tak hanya kalah! KITA JUGA BISA MATI, BAJINGAN!” Aku melihat matanya yang juga tersirat sebuah emosi disana, air yang menggenang di kelopak matanya. Benar, ia menangis.

Pertama kalinya aku melihat ia menangis. Aku yakin itu air mata kesedihan yang ia keluarkan, meskipun aku masih kesal dengan perkataannya.

Aku membeku, lisanku terasa kelu, juga seketika kalimat dan kata yang hendak aku keluarkan tersangkut di kerongkongan. Perlahan cengkraman itu melonggar, aku menundukan kepala, jangan bayangkan bagaimana ekspresi sedih yang aku keluarkan, mata ku sudah berderai air mata.

Ini adalah sebuah kejadian dimana kemenangan di dapatkan tetapi tidak dengan sebuah kebanggaan terhadap diri sendiri, bahkan orang lain.

Aku kehilangan dirinya, salah satu yang ku sebut keluarga, juga kehilangan diriku sendiri sebagai ketua dari sebuah organisasi yang tidak bisa berbuat apa - apa selain menangis, dan meratapi, tanpa memperhatikan teman - temanku, aku hanya sibuk dengan diriku sendiri.

Aku egois, ...

.





.







.

TO BE CONTINUE.

RENEGADES | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang