Raline tersenyum kecil memerhatikan sosok lelaki jangkung yang tengah fokus memasak. Pundak Raline bersandar di bingkai pintu dapur. Cukup lama Raline berdiri disana dengan mata yang tertanam pada gerak gerik Ranu. Suaminya itu terlihat memunggunginya, barangkali sedang menjaga agar apa yang diatas kompor tidak gosong.

Perhatian Ranu sedang berpusat pada omelet yang hampir masak saat tiba-tiba punggungnya dirangkul seseorang dari belakang. Tanpa menoleh pun, Ranu sudah tau siapa pemilik sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya. Di detik yang sama, dadanya berdebar dan sudut bibirnya berkedut.

"Hati-hati, teflonnya panas," Ranu memperingati saat melihat tangan Raline memeluk perutnya yang berada dekat dengan wajan gepeng di atas kompor menyala.

"Hm, ya baiklah."

Alih-alih melepas seperti dugaan Ranu, sepasang tangan putih yang salah satunya dilingkari cincin itu malah merayap ke atas dan memeluk pangkal lengannya. Terasa sangat seseorang di belakang sana, sedang kenyamanan menyandarkan kepala di punggung tegap miliknya. Membuat Ranu hanya bisa geleng-geleng, walau dalam hati berbunga-bunga juga.

"Omong-omong, masakan asin apa yang sedang kamu buat?"

Kalimat bernada mencibir itu membuat senyum Ranu surut. Wajahnya merengut. Ya memang sih, setiap dia yang masak rasanya selalu keasinan. Itu pun terbilang mending karena seringnya malah kematangan alias gosong.

Raline melepas rangkulannya dan berdiri sejajar dengan Ranu. Begitu melihat, ia langsung terkesima dengan omelet sayur cantik bentuk bulat sempurna buatan suaminya tersebut.

Ranu melalui sudut matanya menangkap raut terkagum Raline. Senyum angkuhnya lantas tersungging. Dengan segera Ranu mengangkat omeletnya itu, menaruhnya di atas piring, dan memotongnya menjadi segitiga segitiga kecil sama besar.

"Silahkan, buktikan sendiri kalau omongan Anda salah, Nyonya." Ranu menyajikan sepiring nasi beserta potongan omelet di atas meja makan. Kedua tangannya menyilang di depan dada sembari tersenyum miring.

Raline menggigit bibir bawah, rautnya terlihat cemas dan terburu-buru, "Aku ingin, tapi sepertinya tidak sempat. Aku harus segera ke studio-"

"Aku tidak menginjinkanmu kemana-mana dengan perut kosong," Ranu memotong. Ia meraih dua bahu Raline untuk duduk di salah kursi meja makan, "Habiskan dulu sarapanmu, baru kamu boleh pergi."

Seperti tak kuasa melawan, Raline hanya menurut. Ia menatap sepiring omelet di depannya dan Ranu bergantian, "Haruskah?"

Wajah dingin di depannya membuat Raline meneguk ludah. Ia tak punya pilihan lagi selain menyerok nasi dan omelet itu dengan sendok di tangannya.

Dengan sebengket nyali yang ada, Raline menyuap sendok itu ke mulut- mengulum dengan lidah- perlahan mengunyahnya dan- "Mmmm..."

Pupil matanya melebar ketika perlahan-lahan membiarkan omelet itu bercampur dengan ludahnya. Lalu masih dengan mulut yang masih penuh, Raline kembali menyendok omelet itu lagi dan lagi. Matanya terpejam bersama bibirnya melengkung dan menggumam nikmat.

Senyum kemenangan berkibar di wajah tampan Ranu. Ia menarik salah satu kursi di sebrang dan menanamkan pandangannya pada Raline. Seperti sedang merekam pemandangan di depannya, mata Ranu tak beralih sesaat pun. Entah ini sihir atau apa, tapi hanya dengan melihat wanita itu menyantap omelet buatannya dengan sangat lahap membuat perut kosongnya terasa penuh seketika.

"Jadi, masakanku yang terbukti tidak asin atau kamu yang mendadak tergila-gila dengan makanan asin? Sepertinya nomor dua terdengar sangat aneh untuk menjadi alasanmu hampir menghabiskan seluruh omeletku," Ranu tertawa kecil seolah sedang memperolok-olok Raline.

If Something Happens I Love You: THE UNFORGIVABLE MISTAKEOnde histórias criam vida. Descubra agora