/dua puluh tiga

288 28 19
                                    

Sudah seharian Azady menghabiskan waktu di apartment milik Gamma, bahkan ketika cowok itu pergi untuk menjemput bundanya, Azady lebih memilih untuk tetap tinggal dibandingkan pulang ke rumah miliknya.

Gamma tidak berkata apa pun, bahkan tidak memaksanya untuk bercerita meskipun cowok itu sadar alasan dibaliknya. Salah satu hal yang Azady sukai dari Gamma, sikap pengertian terhadapnya.

Tetapi ketika malam kembali menyapa, tentu saja Gamma mau tidak mau harus mengantarkan Azady pulang meskipun perempuan itu tidak ingin. Menurutnya itu adalah hal yang benar untuk dilakukan sebagai seorang pacar.

"Pulang dulu, ngobrol baik-baik. Kalau nanti masih nggak kondusif, kamu bisa langsung ke aku lagi. Ya?" Bujuk Gamma yang akhirnya dituruti olehnya.

Namun selama di perjalanan pulang Azady lebih banyak terdiam, memperhatikan jalanan yang masih ramai meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sepertinya Ibu kota memang tidak pernah tertidur.

Sama seperti ramainya jalanan yang mereka lalui, isi pikiran Azady juga tak kalah riuh. Pikirannya bercabang-cabang, kepada masalah keluarga, perasaan, ataupun tentang Gamma.

Bahkan hingga detik ini ketika Gamma terlihat baik-baik saja, Azady masih merasa bersalah karena memanggil lelaki itu dengan nama Sekala di kondisi setengah sadarnya. Meskipun terdengar seperti alasan tapi disisi lain Azady memang belum bisa melepas kebiasaannya dalam membutuhkan Sekala disaat hidupnya mulai kacau.

Ia menggigit kukunya seraya berpikir mulai darimana ia harus membereskan permasalahan yang ada. Pandangannya kini teralih pada Gamma yang juga hanya fokus menyetir seraya sesekali ikut bersenandung mengikuti lagu yang terputar dari radio.

Azady tersenyum kecil. Gamma memang kadang bisa sangat kekanakan, selalu mencari dan menyelesaikan masalah dengan bertengkar, namun dibalik semua itu Azady selalu merasa sangat disayang oleh cowok itu. Kadang bahkan ia tak menyangka bahwa Gamma bisa memiliki kesabaran lebih dan pengertian padanya yang sangat tertutup dan sepertinya banyak menyakiti hatinya.

"Gam."

Cowok itu menoleh sesaat padanya. "Ya?"

"Menurut lo kita gimana?"

"Gimana apanya?" Gamma balik bertanya keheranan. "We're good. Kenapa, lo emang ngerasanya kita gimana?"

Complicated.

"Iya, gue setuju sama lo. We're good, kok." Jawab Azady membohongi hatinya dengan senyum manis yang mengiringinya. Tapi Gamma tentu tidak tertipu, ia sendiri sadar bahwa hubungan mereka mulai merumit semenjak nama Sekala terangkat. Namun ia memilih diam dan menyangkal.

"Lo selama sama gue bahagia nggak?"

Gamma merengut atas pertanyaan tiba-tiba lagi seperti itu. "Kenapa sekarang tiba-tiba nanya kayak gitu?"

"Soalnya," Azady memberi jeda, menyusun kata-katanya. "Soalnya gue ngerasa banyak nyakitin lo." Azady terkekeh canggung, berusaha tidak membawa topik terlalu serius. "Maksudnya, gue masih banyak tertutupnya. Terkesan cuek dan bahkan keliatan kayak nggak sayang sama lo. But i never ask your feelings about this, jadi kamu bahagia nggak selama sama aku?"

Gamma menginjak remnya perlahan begitu lampu merah menyala. Menaruh fokus pada Azady setelah pertanyaanya itu. "Kamu serius kepikiran kayak gitu?"

"Iyaa."

"Kalau kamu nanya kayak gitu jawabanku yang pertama, iya bahagia. Ngabisin waktu sama kamu kayak gini aja aku udah bahagia banget, Dy. Just be with you and i won't ask for more." Jelas Gamma tulus dan jujur, sebelum kembali menginjak gas setelah lampu berubah menjadi hijau. "Yang kedua, kamu nggak pernah nyakitin aku kayak yang kamu bilang atau kamu rasa, cause every relationship has its ups and down and i'm okay with all."

"Termasuk kalau aku belum bisa terbuka soal Sekala?" Tanya Azady membuat Gamma terdiam beberapa saat. Azady tahu harusnya ia tidak membawa kembali nama tersebut didalam percakapannya dengan Gamma, namun ia tidak dapat menahannya.

Gamma tersenyum lembut padanya, menenangkan. "Iya gapapa, nanti ada waktunya sendiri kamu siap cerita. As long as you're happy and that's enough."

Azady kembali diam, meresapi perkataan pacarnya itu, sebelum merubah posisi duduknya menjadi 45 derajat menghadap Gamma. "Kamu ngomong gitu aku jadi kepikiran sesuatu lagi deh."

"Apaa?"

"Kenapa kamu kalo ngomong hampir selalu as long as i'm happy? Kenapa nggak karena kamu aja yang seneng, atau kita berdua yang seneng? Kan bahagianya nggak harus melulu tentang aku."

Gamma tersenyum geli tak percaya. Pertanyaan malam hari Azady selalu saja seperti ini, tidak terduga, meskipun ia tahu bahwa perempuan itu sangat serius jika melihat dari raut wajahnya. "I don't know, it's like a feeling that can't be describe. Soalnya kalo kamu seneng, itu udah lebih dari cukup buat bikin aku bahagia. Like every happy day of my life is tied to you."

"Berarti kalau aku sedih, kamu nanti jadi ikut nggak bahagia dong? I will affect all of your happy days and hurt you even more."

"Ya makanya kamu harus bahagia terus ya. Smile always looks good in you, Azady."

Azady kembali menghadap depan, tersenyum kecut mendengarnya. "Kalau gitu jangan deh."

"Jangan apa?"

"Jangan lagi gantungin kebahagiaan kamu di aku ya, Gam?" Pinta Azady cukup serius dan tanpa keraguan. "Kamu mungkin belum banyak tau, tapi hidup aku itu banyak sakitnya, banyak sedihnya, banyak lukanya. Kalau kebahagiaan kamu itu tentang aku, nanti kamu malah lebih banyak ikut sedih, ikut nggak bahagia. Aku nggak mau kalau gitu." Jelas Azady dengan nada pelannya. Sedikit terkesan lirih memberi tahu.

"Aku maunya Gamma bahagia terus. Banyak senyumnya, banyak ketawanya, nggak berhenti jail dan resenya." Azady terkekeh sesaat. "Soalnya kalau ngeliat kamu kayak gitu aku jadi ngerasa hidup aku nggak buruk juga, karena aku punya kamu yang bawa banyak bahagia."

Gamma menelan salivanya mendengar penuturan tersebut. Kembali merasa sesak karena ia bisa merasakan rasa sakit dan sedih dari nada bicara Azady. Bahwa perempuan itu sangat serius dengan ucapannya. "Why you have to say something like that, Dy?"

Azady tersenyum tipis, lagu James Arthur berjudul say you won't let go yang sedang terputar di radio itu menambah momen yang ada. "Aku emang belum bisa ngasih tau kamu semua hal tapi setidaknya aku mau ngasih tau kamu tentang ini."

"Aku mau kamu terus bahagia Gam, yang terlepas dari aku. Soalnya aku nggak bisa janji terus bahagia dan jadi kebahagiaan kamu." Gamma kini menepikan mobilnya untuk menaruh seluruh fokusnya pada gadisnya itu. Meskipun ia tidak sanggup menatap mata Azady yang meminta seperti itu.

"Kayaknya aku belum pernah bilang yang sama kamu, kalau selama ini, setiap sama kamu, aku banyak bahagianya Gam. Tapi kayaknya, sejauh ini kamu sama aku lebih banyak sakitnya ya? Maaf ya Gamma. Maaf aku belum bisa pantes untuk kamu, can't give you all the love, all the attention that you deserve."

"Nooo." Gamma menggeleng tak setuju. "Jangan ngomong kayak gitu, Dy. Aku nggak suka. Sama kamu, aku juga banyak bahagianya. Kamu itu bagi aku selalu kebahagiaan dan nggak pernah sebaliknya."

Azady tersenyum tipis mendengarnya. Lihat sendiri kan, Gamma yang menyayanginya seolah tanpa batas. Too overwhelming for her. Jadi susah payah Azady menahan perasaan campur aduknya yang timbul karena obrolan malam di jalan itu.

"In case you question yourself about my feelings for a some moment, aku sayang sama kamu kok, Gam. Aku sayang, tapi masih nggak cukup buat balikin semua rasa sayang kamu ke aku." Ujar Azady kembali tanpa aba-aba. "Maaf dan makasih banyak ya, Gammario? For all the love and patience."

Jadi jangan pergi dulu ya, Gamma? Aku mau berusaha lebih lagi buat sayang sama kamu sepenuhnya.

•••••

aku kayaknya selalu ninggalin ini lama bgt ya huhu, maafkan aku🥲
semoga kalian masih mau bacaaaa

oiya aku ada work baru, judulnya midsummer, latarnya summer in UK kalau kalian berminat baca boleh bangettt❤️‍🔥🍓

16.40 pm
01 Agustus 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ruang JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang