Stranded pt. 2

2 1 0
                                    

04.32-05.34

Menyadari aku baru saja bangun dan masih jam 4 kutupuskan untuk solat subuh dulu dan lanjut tidur dulu. Anehnya mimpi berlanjut, dan tiba tiba aku masih berada di motor bersama cowok itu yang ngomong sendiri.

"Sepertinya aku ngomong sendiri dari tadi. Tapi melihatmu membantu ku tanpa ekspresi, kau seperti mayat hidup." Katanya.

"Hah. . . ?" Responku tak paham.

"Oh kau sadar ? Tapi sepertinya kau tak ingat apa yang ku bicarakan tadi. Namaku Varel." Katanya memperkenalkan diri.

"Varel ya. Salam kenal."

"Aneh sekali." Jawabnya sambil ketawa
"Bentar lagi kita akan sampai." Lanjutnya.

Lalu tak perlu waktu lama aku sudah kembali ke rumah itu. Tempat dimana aku tiba-tiba muncul.

"Oh iya ini bayaranmu." Kata Varel memberiku sejumlah uang kertas.
"Terima kasih sudah membantu." Lanjutnya sambil masuk ke dalam.

"Ah iya, sama sama. Makasih."

"Masuklah, kau tamu disini." Jelas Varel melihatku masih di luar ruman

"Varel kau pulang. Siapa yang kau bawa ini ?" Kata seorang perempuan dewasa dari belakang.

"Dia kenalan Vena buk." Jelas Varel pada ibu ibu itu.

"Wah, benarkah ? Sini sini." Kata ibu itu menarik tangan ku menuju ke dapur.

"Eh, kenapa buk ?" Tanyaku heran.

"Enggak, sini minum dulu. Ibuk mau ngobrol, aku ibuknya Vena." Katanya sambil memberikan minuman sirup dan menghidangkanku segelas.

"Oh iya bu. Terima kasih." Ucapku sambil minum, dibalas dengan senyum beliau dan mengisyaratkan untuk duduk.

"Jadi, kapan kalian pacaran?" Tanya ibu.

"Huk huk .... Ugh." Aku seketika tersedak dan terbatuk batuk.

"Maaf buk, tapi kami hanya kenal dan akrab." Jelasku.

"Yah, padahal ibu pengen punya menantu kayak kamu."

"Hehe. . ." Responku sambil ketawa

"Eh Sen, liat ini temennya Vena." Kata ibu itu melihat seseorang dibelakang ku.

Aku berbalik dan melihatnya. Cewek berambut panjang dengan poni pendek, kaos putih dengan rok melingkar di pundak (rok jumper, penulis sempet searching tadi) berwarna cream. Rambutnya berwarna merah. Ia tersenyum dan aku tertegun.

"Itu Sena, kakaknya Vena." Jelas Ibu.

"Ah aku Fadhil." Membuyarkan lamunanku.

"Sena, salam kenal." Katanya

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu ?" Sahut seorang dari belakang Sena, dan itu Vena sambil membawa keranjang buah apel.

"Aku bantuin." Sahutku mengambil keranjang yang cukup berat itu, setelah menyadari Vena merasa keberatan.

"Padahal aku bisa sendiri." Kata Vena ketus. Lalu berbalik.

Sena pun tertawa kecil sambil menutupi mulutnya lalu menuju ke belakangku.

"Kau, sini." Panggil Vena dengan isyarat untuk masuk ke kamar diatas, tempat pertama kali aku tersadar.

Saat aku masuk, ia lalu menutup pintu. Lalu menguncinya.

"Duduk di sini." Menunjuk kasur.

"Oke. Kenapa pintunya dikunci?" Kataku langsung duduk.

Tiba tiba dia langsung mengambil gunting dan menerjang ku. Aku ambruk tertidur, kedua tanganku di kunci dengan kakinya, tangan kirinya berada di leherku sementara tangan kanannya bermain dengan gunting.

"Kau mau ngapain?" Kataku sedikit berkeringat, dan anehnya aku tak bisa bergerak. Bahkan kakiku serasa tak berontak.

Raut muka Vena nya berubah dengan tatapan yang kejam.

"Apa yang kau lakukan pada keluargaku ? Aku tak pernah melihat mereka seperti itu pada orang asing, tidak padamu." Katanya lalu mengarahkan gunting nya ke mata kiriku.

"Aku tak paham dengan yang maksudmu." Kataku mencoba tenang.

"Aku yang anaknya sendiri tidak pernah mendapatkan tatapan seperti itu, tapi kamu..." Katanya terhenti, lalu airmatanya menetes di pipiku.

"Kamu tak pantas dapat semua itu hanya karena keindahanmu." Lanjutnya mengayunkan gunting itu.

Saat gunting itu hampir menuju ke mataku, kaki kirinya sedikit longgar dan tanganku langsung menampik gunting itu. Aku pun berbalik berada diatasnya dan memeganginya yg terlihat seperti kerasukan. Bahkan dengan kondisi yg seperti itu ia meronta ronta dan bahkan sempat membuat pipiku berdarah terkena kukunya.

"Tenanglah." Kataku padanya, lalu tiba tiba dari telinga kanan ada bisikan. Cium dia.

Aku terkaget dan melihat ke arah kanan, tak ada seorang pun.

"Maaf, kurasa tak ada cara lain." Kataku sambil mendekatkan diriku padanya.

"Ja . . uh. Menjauh. Men. . mm . . hmmpp" Katanya lalu terbekap mulutku. Tiba tiba tangannya melemas dan seketika airmatanya deras mengalir. Ia seperti langsung melemas.

"Maaf, kau harus tenang dulu." Kataku melepas ciuman namun jarak wajah kami masih cukup dekat.

Setelah itu rasanya tubuhku lemas terhuyung-huyung dan aku terbaring di sebelah kirinya. Napasku tersengal sengal tiba tiba. Aku masih melihatnya menangis di sampingku sambil menutup matanya.

"Maaf." Kataku sekali lagi. Aku pun tak sadarkan diri.

Lalu terbangun untuk kedua kalinya di jam 05.30 pagi di dunia nyata dengan keadaan berkeringat.

Jurnal Mimpi (Nothing's Special About It)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang