•| Chapter 2 |•

Start from the beginning
                                        

"Nggak pake kacamata sebentar doang nggak bakal bikin lo buta, kan?" tanya Xavier sarkas.

"Gue cuman nggak mau dibuka aja kacamatanya," balas gadis itu pelan.

"Ini, Xav, airnya." Anggota PMR yang disuruh Xavier membelikan air sudah kembali, memberikan botol air mineral pada Xavier.

Xavier menerima tanpa menoleh, matanya fokus pada gadis yang senantiasa menundukan kepalanya. "Thanks," ucap Xavier.

Anggota PMR bernama Putri itu mengangguk, lalu pergi. Kembali ke meja yang berada di dekat pintu masuk.

"Nih, airnya," ucap Xavier seraya memberikan air tersebut.

"Makasih. Taro aja di situ, nanti gue minum."

"Diminum sekarang aja. Biar pusing lo reda. Pusing 'kan kepala lo?"

"Iya. Tapi, nanti aja gue minumnya. Lo balik aja ke lapangan." Gadis itu masih kekeh tidak ingin meminumnya sekarang membuat Xavier membuang napas kesal.

Xavier meletakan air mineral tersebut ke atas meja yang ada di samping brankar dengan cukup kasar. "Ya udah, terserah. Yang penting gue udah nolongin lo. Jangan minta tanggung jawab temen-temen gue kalo lo sampe kenapa-napa."

"Hm," balas gadis itu masih dengan kepala yang menunduk.

"Gue tinggal," pamit Xavier seraya menepuk pelan puncak kepala gadis itu sebelum akhirnya pergi.

Setelah kepergiannya. Gadis itu mengangkat kepalanya, meraih air tersebut dan meminumnya sambil memijit kepalanya yang pusing.

Tangan satunya meraih ponsel di saku rok. Mengirim pesan pada seseorang.

Me : Cari tau orang itu.

•••

Seluruh pasang mata menatapnya saat dia berdiri di depan kelas bersama seorang guru di sampingnya. Gadis itu berdiri tenang. Tidak terganggu sama sekali di saat semua orang menatapnya bingung dan penasaran.

"Perkenalkan nama saya Quinnsha Qiana Qalesya. Biasa dipanggil Lesya," ucap gadis itu lugas dengan satu tarikan napas.

"Okey, apa ada tambahan?" tanya Pak Faris—wali kelas 11 IPA 1.

Lesya menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak ada, Pak."

"Berikan applause," ucap Pak Faris. Gemuruh tepuk tangan pun terdengar menggantikan suasana yang sempat sepi senyap.

"Silahkan, duduk. Di satu-satunya bangku yang kosong," ucap Pak Faris mempersilahkan.

Lesya menganggukan kepalanya sekali. Mulai melangkah menuju satu-satunya kursi yang kosong di dalam kelas itu. Meletakan tasnya di atas meja, lalu duduk.

"Haiii," sapa seorang gadis yang duduk disebrang meja Lesya, tersenyum ramah seraya mengangkat tangannya. Lalu, terulur ke arah Lesya. "Kenalin nama gue Naura."

Lesya membalas uluran tangan itu sambil tersenyum. "Hai, gue Lesya."

"Gue juga mau kenalan, dong. Lo minggir!" Seorang gadis yang duduk di samping Naura berseru membuat Naura berdecak kesal.

"Ya, santai dong! Nggak liat ini tangan gue sama Lesya masih nempel?" balas Naura sewot.

"Ya udah, cepet lepasin. Jangan lama-lama. Bukan muhrim."

Naura mendelik, menoyor kepala temannya. "Sekate-kate lo kalo ngomong."

"Hai, nama gue Riana," ucap Riana—teman sebangku Naura sementara.

"Hai, gue Lesya," balas Lesya dengan senyum manisnya.

"Oke, anak-anak. Perkenalkan nama saya Faris." Pak Faris yang berdiri di depan papan tulis mulai mengenalkan diri sebagai wali kelas di tahun ajaran baru. "Ada yang sudah kenal dengan saya?"

"Ada, Pak! Ada!" seru Naura paling kencang. Dilihat teman-teman sekelasnya sambil tertawa. Sementara, gadis itu sendiri cengengesan. "Calon suami saya, kan?"

"WOOO NAURA WOOO!!"

"Naura, astagaaa! Ketawa banget gue."

"Naura! Kalem, Nau!"

"Nau! Jangan diembatlah! Gue juga demen."

Seruan-seruan terdengar ricuh meramaikan suasana. Memang, guru satu itu adalah guru yang paling diharapkan setiap murid Aregas untuk jadi wali kelas. Selain baik, humble dan tentunya masih muda. Pak Faris memiliki paras rupawan. Senyumnya manis. Perawakannya tinggi dan putih.

Satu fakta lagi tentang guru tampan itu kalau dia masih JOMBLO.

Banyak kabar bersileweran mengenai Pak Faris yang masih jomblo. Jadi, banyak siswi di Aregas yang ngefans sama dia. Dan tak jarang pula mejanya di kantor guru penuh oleh kado, cokelat dan surat cinta. Berharap guru tampan itu jodoh salah satu muridnya.

Pak Faris geleng-geleng kepala dengan senyuman malu. "Nanti pacar kamu marah."

"Saya belum punya pacar, Pak. Jomblo, kok. Aman. Kan, lagi nunggu Bapak datengin rumah saya buat ngelamar," balas Naura membuat satu kelas kembali menyorakinya. Memang, gadis itu tidak kenal malu. Salah satu fans berat Pak Faris. Guru tampan di Aregas yang baru menginjak usia 28 tahun.

"Sudah sudah. Jadi, malu Bapak," ucap Pak Faris bergaya malu-malu sambil menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Membuat satu kelas tertawa dan merasa sangat bahagia bisa dapat Pak Faris jadi wali kelas mereka.

"Kalian sudah tau 'kan saya mengajar di mapel sejarah?" tanya Pak Faris.

"Tau, Pak! Tau, Pak!" Naura dan Riana kompak menyahut paling keras.

"Tapi, Bapak tau nggak? Cinta berawal dari Adam dan Hawa!" seru Riana tidak mau kalah dengan Naura.

"Asikkk!" teman sekelasnya bersorak.

"Dibawa terbang oleh Rama dan Sinta."

"WOA WOEEE!"

"Ditenggelamkan oleh Rose dan Jack."

"BYURRR!!"

"Dibawa mati oleh Romeo and Juliet."

"TUSSS!!"

"Goblok, anying! AHAHAHA!!!"

"Dan dihidupkan kembali oleh aku dan kamuuu," lanjut Riana sambil tersenyum malu.

"WOOO!" sorakan heboh kembali terdengar. Ada yang sambil bertepuk tangan, memukul meja, goyang dombret sampai memutar-mutar sarung di udara seakan lagi konser.

Lesya menggelengkan kepalanya sambil tertawa melihat kelucuan teman-teman sekelasnya. Gadis itu bersyukur, hal yang paling malas dihadapinya tidak terjadi di kelas ini.

Dangerous NerdWhere stories live. Discover now