#36

4.3K 393 206
                                    


Waktu sudah menunjukkan lewat dari tengah malam. Dinginnya udara sehabis hujan kian terasa menyejukkan. Para orang orang sudah tidur dengan nyenyaknya malam ini.

Namun tidak denganya. Kaki jenjang putih itu berlari cepat di lorong rumah sakit, tanpa beralaskan apapun. Rambutnya hanya di jepit tak rapi. Entah seterburu buru atau apapun itu, ia bahkan lupa dengan pakaiannya yg jauh dari kata sopan.

Ataya, ia hanya memakai hot pans dengan atasan kaos putih ketat. Tak mempedulikan apapun, ia terus melangkah cepat. Rautnya nampak menyeramkan, dengan mata merah yg memanas. Perasaanya campur aduk, marah, cemas, dan takut.

Lorong yg sepi memudahkannya dalam bergerak, hanya ada beberapa orang yg berseliweran melewatinya. Seperti dua sosok remaja yg nampak berjalan sembari membincangkan sesuatu.

"Koe mau liat ora korban e?"

"Hooh loh, aku tadi nggak sengaja liat. Ngeri banget mas. Mukanya sampai ketutupan darah gitu, di sampingnya  udah kayak mau pecah! Kasian banget, nggak kebayang jatuhnya kayak gimana."

"Mas kayak nggak asing, tapi itu parah banget. Kalo selamat paling dia koma atau kritis, dek."

"Iya loh..."

Mendengar bisikan itu, sosok Ataya mengepalkan kuat tanganya. Jantungnya berpacu dengan cepat. Ia ingin marah, semarah maranya. Ia ingin meneriaki dua remaja itu dengan lantang, bahwa orang yg mereka bicarakan akan selamat. Dan tidak cacat suatu apapun.

Namun tak di pungkiri, ada sebuah perasaan tersayat pada tubuhnya di tempat tertentu. Tempat istimewa yg sangat sakral baginya. Dadanya terasa sesak nan bergemuruh. Terlebih saat matanya sudah menangkap beberapa orang yg ia kenali tengah menundukkan kepala, ada juga yg tengah menonjok nonjok tembok.

Ataya semakin bergerak cepat, matanya tak bisa menatap ke lantai yg di penuhi beberapa bercak bercak merah. Ia menatap lurus ke depan, dagunya terangkat pongah. Ia tak ingin memeper keruh keadaan, ia harus bisa mengontrol dirinya sendiri.

Langkahnya yg cepat kini kian memelan, ia berhenti tepat di depan pintu. Membuat mereka kini memfokuskan perhatiannya pada Ataya.

"Hikssssssss momyy Ayaaaa!!!"

Sosok sang gadis kecil yg berada di dekapan Rajantara mengamuk, ia bergerak meronta ronta agar keluar dari kekapan sang Papi. Gadis kecil itu nampak menangis kencang, wajahnya sembab dengan wajah yg memerah padam.

"Abang! Abang! Momyy hikss. Abangg Ayya,"  Gadis kecil itu berteriak kencang, dengan tubuh yg memeluk erat kaki Ataya. "Hikss, au abangg. Yayaa au abangggg." Tangisnya makin kencang.

Ataya, gadis itu tak bergeming apapun. Tak mempedulikan gadis kecil yg tengah merenggek kepadanya, tak mempedulikan umpatan demi umpatan emosi Tiko, dan tak mempedulikan tangisan beberapa dari mereka.

"Pergi."

Perintah dengan nada dingin itu keluar dari mulut Ataya dengan tak terduga. Tak ada nada lembut dalam ucapanya. Sedangkan Yaya makin menguatkan tangisannya.

"GUE BILANG PERGI SAT!"

Umpatan kasar begitu menggelegar. Semua orang tersentak. Mereka bahkan sangat kelu hanya untuk mengeluarkan satu kata sejak tadi. Mereka hanya terdiam, bergelut dengan pikiran masing masing. Kecuali sang gadis kecil yg tak bisa berhenti menangis.

Rajantara hendak meledak kala anaknya yg masih balita di bentak. Namun ia urungkan kala mendapat kode dari sosok temanya yg baru saja datang. Sosok Om Bumi berjalan tegas menghampiri anak perempuannya. Ia nampak tak berekspresi sama sekali.

"Raja bawa anak kamu pergi ke ruang sebelah. Kalian juga, biarkan anak saya di sini. Saya akan mengurusnya." Ujarnya tak terbantah. Matanya menyorot tajam Tiko yg menatapnya tak bersahabat. Tidak hanya laki laki itu ternyata, namun juga teman teman Jendral yg lain.

[JENDRAL] Vakum.Where stories live. Discover now