III

90 18 22
                                    

Dino mengendap-endap, melewati pintu. Suara halus Dongjin yang sedang membaca puisi terdengar. Sesekali suara berat Jihoon menyela. Dino tidak merasa sakit! Jihoon hanya ingin menghalanginya bertemu dengan adiknya. Dino memutuskan untuk tetap menemui Mingyu. Dino berjingkat-jingkat menuruni tangga, menapak dengan hati-hati, membuka palang pintu dapur. Minghao juga tidak boleh melihatnya.

Dapur itu terasa hangat karena perapian. Sang pengurus rumah tak kelihatan –mungkin sedang mengambil batu bara– Setelah memperhatikan isi dapur, Dino berlari menuju pintu belakang lalu keluar ke halaman malam. Udara dingin menyambutnya. Dino mengingat suratnya... Ia pergi menuju tempat ia meletakkannya. Suratnya sudah tidak ada. 

"Halo?" Tidak ada jawaban.

"Mingyu?" Dino mencoba membuka pintu gudang perahu itu. Ada yang mengambil suratnya, tapi siapa? Ada udara hangat yang melewatinya, seakan seseorang baru saja pergi. "Sst" Mingyu berdiri di sana, jarinya menempel di bibir. "Aku mau bicara, aku sudah mengikutimu dari rumah,"

"Kau menemukan suratku?" Mingyu mengernyit "Surat apa?"

"Aku meninggalkan surat untukmu di sini, di bawah pintu...," Dino menunjuk  tempat ia meletakkan surat.

"Aku tidak menemukannya,"

"Kalau kau tak menemukan suratku, bagaimana kau menemuiku di sini?"

"Kan aku bilang aku mengikutimu dari rumah. Aku menunggu kesempatan bicara denganmu. Sini, mereka akan mencarimu segera. Kita tak punya banyak waktu,"

"Sebenarnya kau siapa? Kenapa ada gambarmu di buku berjudul Abuse,"

"Aku bagian dari rumah itu," Mingyu menyibakkan rambut dari wajahnya. Sepertinya itu kebiasaanya.

"Jadi kau hantu?"

"Aku bukan hantu!" Mingyu mulai kesal. " Aku sehidup dirimu!" 

Mingyu menggenggam tangan Dino. Tangan lelaki itu lebih hangat dibanding tangan Dino sendiri. Jemarinya menghangatkan.

"Nah, bukan hantu," Mingyu berucap. Dino menarik tangannya. "Lalu bagaimana kau tahu tentang aku? Juga hantu di kolam itu?"

"Karena aku juga bagian dari sejarah rumah itu, dulu kita berteman," Dino menggeleng. "Mungkin...Aku tidak ingat,"

"Aku akan membebaskanmu, Dino," Mingyu mencoba meyakinkan. "Appa-mu dan para pelayannya ingin menahanmu dalam kegelapan." Dino mengernyit, mengonvert pernyataan Mingyu menjadi tanya lalu melemparakannya pada Mingyu.

"Aku ke sini untuk menemuimu. Membawa bunga snowdrop sebagai pesan untuk membawamu ke padang itu," Jelas Mingyu. "Kau harus melihat hantu itu lagi. Sudah waktunya kau bangun. Cari semua potongannya. Satukan kembali dan cari tahu kebenaran tentang eomma-mu,"

"Aku tidak mengerti," Dino mengesah bimbang.

"Aku akan menemui mu lagi, segera," Mata Mingyu gelisah mengintari sekeliling. "Aku tidak bisa lama-lama. Bicaralah pada hantu itu. Aku akan mengirimmu padanya. Dia akan membantumu," Mingyu melangkah keluar. Dino menyusulnya, tapi Mingyu sudah lenyap.

Dino tidak tahu sisa waktu yang dimilikinya. Jika Dongjin sudah selesai belajar, Jihoon pasti akan memeriksa kamarnya. Mungkin mereka sudah keluar dan mencarinya.

Dino bergegas menuju kolam. Mengalkulasi. Jarak dari sini ke padang 20 menit. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan pernyataan. Dari mana Mingyu datang? Apakah dari Abuse yang terang itu?

Ketika melihat padang itu, ingatan samar terbentuk di benaknya. Musim semi, bunga yang bermekaran, bayi burung belibis yang sehitam batu bara. Sudah berapa lama musim semi berlalu?

Abuse [Dino of Seventeen]Where stories live. Discover now