II

127 19 34
                                    

Tidur Dino terganggu ketika ada suara tawa di luar kamarnya.

Awalnya Dino tidak yakin akan sumber suara itu. Mungkin hanya bagian dari mimpinya.

Dino terjaga, bangun dan membuka mata. Suara tawa itu masih ada, nyata. Suara tawa anak kecil yang penuh dengan kehidupan dan kebahagiaan.

Dino memang sering mendengarnya sebelumnya. Suara tawa itu berasal dari hantu anak kecil yang berlari sepanjang koridor di luar kamarnya. Terdengar gembira.

Dino mengintip hantu itu, kira-kira berusia 10 tahun, pakaiannya formal, kemeja kecil. Mungkin sedang menghadiri pernikahan atau pesta istimewa. Mungkin karena itulah momen bahagianya tertinggal di koridor ini, saat lelaki kecil itu paling bahagia.

Hantu itu tidak menyadari kehadiran Dino. Hantu kecil itu melompat seperti sedang bermain bersama temannya yang tak dapat Dino lihat.

Hantu kecil itu menutup wajahnya, menghitung lalu merenggangkan jarinya, mengintip. Ah, petak umpet rupanya.

Si hantu membuka matanya, namun sepertinya tidak melihat temannya tadi, celingak-celinguk untuk memutuskan tempat tujuannya.

Dino memang sudah sering melihatnya, melakukan gerakan yang sama persis setiap kali ia melihatnya. Suaranya juga sama, tapi Dino yang bertindak di luar kebiasaan. Mengikuti hantu kecil itu sepanjang koridor. Sekali lagi, Dino melanggar kebiasaanya.

Hantu itu menoleh ke belakang, lalu berlari lagi, semakin lama langkahnya semakin lambat. Hantu itu berhenti, melompat dan bersenang-senang, seakan memimpin seseorang dalam tarian gembira.

Dino hanya tersenyum, terus mengikuti hantu itu. Hingga akhirnya ia sadar bahwa ia tidak pernah mengunjungi bagian rumah tempatnya berdiri sekarang.

"Dino!" Suara tajam memanggilnya, membuat Dino tersentak, hantu anak kecil tadi hilang seketika.

"Kamu terlambat sarapan, bahkan Dongjin sudah mulai belajar," Itu Jihoon, baru saja menemukan Dino dan menyentuh lembut pundak Dino. "Ngapain di sini?" Tanya Jihoon.

Ekspresi wajah Jihoon menggambarkan kecurigaan, membuat Dino gugup. Jihoon sering memarahinya karena sering melamun dan ceroboh, Dino tidak mau memberi Jihoon alasan untuk mengomel.

"Tidak apa-apa, Aku hanya...," Dino kebingungan mencari kata-kata dan Jihoon memperhatikan sekeliling.

"Ada yang kau cari?" Dino menggeleng "Maaf aku terlambat. Aku akan bersiap," Tanpa kata-kata lagi Dino setengah berlari ke kamarnya dan berganti pakaian.

Kau bisa bertemu lagi, Din. Tiba-tiba perkataan Mingyu tadi terngiang di telinganya. Bagaimana? Ibunya sudah meninggal, tidak mungkin!

Buku cerita kesukaanya tergeletak di tempat tidur, ada nama yang tertoreh di sampulnya. Nama ibunya. Apakah tanpa buku itu...Dino akan lupa nama ibunya?

Dino merasakan dorongan hati untuk merobek kertas dan menuliskan pesan untuk Mingyu di sana. Mungkin ia bisa meninggalkannya di gereja nanti.

"Dino," Mendengar panggilan Jihoon, Dino bergegas untuk menyusul adiknya.

Dongjin bersikap angkuh, jengkel karena kakanya terlambat. "Jihoon bilang kita harus terjemahkan ini," ucap Dongjin sembari menyodorkan buku kepada Dino. Jihoon tampil sebentar, memastikan anak-anak belajar lalu pergi lagi.

"Jihoon bicara dengan appa tadi," ucap Dongjin.

"Tahu dari mana?" Tanya Dino menantang.

"Belakangan ini mereka memang sering ngobrol," Jawab Dongjin enteng.

"Tahu dari mana?" Desak Dino lebih keras, adiknya sangat menjengkelkan jika punya rahasia.

"Aku membuntutinya," Dino menatap adiknya, meminta penjelasan lebih.

Abuse [Dino of Seventeen]Where stories live. Discover now